Agama-agama yang kini ada di Indonesia telah lama dianut oleh masyarakat Indonesia. Agama yang pertama kali berada di Indonesia adalah agama Hindu, lalu disusul dengan Islam, dan Kristen. Perkembangan tersebut diikuti pula oleh keberadaan lembaga peradilannya. Bustanul Arifin mengatakan bahwa peradilan agama untuk masyarakat Islam terdapat pula di Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Filippina, anak benua India, Thailand, Srilanka, bahkan di Israel.
R. Tresna menyebutkan bahwa dalam tingkatan permulaan manusia hidup bergaul, segala perselisihan yang timbul karena pertentangan kepentingan, diselesaikan dengan mengambil tindakan sendiri, atau manusia bertindak sebagai hakim sendiri. Setelah lingkungan pergaulan hidup semakin teratur dan manusia sudah membiasakan diri hidup di dalam batas-batas tempat kediaman yang tertentu serta berpedoman pada tata-cara yang dianggap baik menurut keyakinan bersama. Oleh karena itulah nafsu untuk bertindak menjadi hakim sendiri dipandangnya tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat. Dan kepala suku, kampung, desa, atau apa juga namanya sesuatu kesatuan hukum, yang merupakan bingkaian di dalam pergaulan hidup manusia di sesuatu daerah tertentu.
Menurut penulis, apa yang dikemukakan oleh Tresna di atas menggambarkan adanya suatu wilayah yurisdiksi, prosedur, dan hukum materil yang digunakannya. Wilayah yurisdiksi ditunjukkan oleh bagian kalimat “di dalam batas-batas tempat kediaman tertentu.” Prosedur ditunjukkan oleh bagian kalimat “berpedoman pada tata cara yang dianggap baik,” dan hukum materil yang digunakannya diwakili oleh bagian kalimat “menurut keyakinan mereka.”
Tresna menyebutkan salah satu sumber yang mengatakan bahwa menurut prasasti finscriptie pada batu dinding dari candi-candi di zaman Airlangga, peradilan pada zaman itu dipegang oleh raja sendiri, dan hukuman badan hanya dijatuhkan oleh raja dan kepada perampok dan pencuri. Akan tetapi, menjadi kenyataan pula, peradilan di zaman kuno dilakukan pula oleh pejabat-pejabat tertentu. Bahkan, di dalam kesatuan-kesatuan hukum wilayah kerajaan, kepala kesatuan menjalankan juga peradilan atas dasar hukum adat, dan hal tersebut bukan hanya terjadi di Pulau Jawa, melainkan juga di luar Pulau Jawa, seperti Mataram. Lebih jauh lagi, Tresna menyebutkan beberapa hasil penelitian ahli-ahli bangsa Belanda tentang adanya pemisahan peradilan seperti peradilan pradata dan peradilan padu. Yang pertama, khusus untuk perkara-perkara yang menjadi urusan peradilan raja. Yang kedua, untuk perkara-perkara yang tidak menjadi urusan peradilan raja.
Menurutnya pula, apabila dilihat dari sudut asalnya, hukum pradata itu bersumber pada hukum Hindu, sedangkan hukum padu berasal dari hukum Indonesia asli. Perbedaan keduanya bukan saja pada sumber asalnya melainkan juga pada lingkungan keberlakuannya. Selain itu, hukum pradata terdapat pada kiutab hukum, sedangkan hukum padu terdapat pada hukum yang tidak tertulis. Akan tetapi, pemisahan tersebut tidaklah berarti pemisahan hukum pradata dan hukum paduidentik dengan pemisahan dalam sistem Barat yang memisahkan antara hukum publik dan hukum privat, tetapi pemisahan dalam hukum adat tidak seperti pemisahan dalam sistem Barat.
Uraian di atas menunjukkan masuknya peradaban Hindu ke Indonesia membawa pengaruh juga ke dalam tata hukum Indonesia sekalipun tidak meresap ke bawah, serta membiarkan saja perkembangan hukum asli di tangan rakyat tanpa ada niat atau hasrat untuk mempengaruhi jalannya pertumbuhan hukum asli itu.
Tata hukum Indonesia kembali mengalami perubahan setelah agama Islam masuk ke Indonesia. Hukum Islam – pada akhirnya – tidak saja menggantikan hukum Hindu, yang berwujud di dalam hukum pradata tetapi juga berusaha memasukkan pengaruhnya ke dalam masyarakat di dalam segala hidupnya. Meskipun hukum asli tidak diasingkan sama sekali, pengaruh hukum Islam dalam beberapa segi kehidupan rakyat telah mengambil kedudukan yang tetap bagi penganut-penganut agama Islam, terutama di dalam hukum keluarga.
Salah satu pengaruh kedatangan agama Islam terhadap hukum asli, yang ditunjukkan oleh Tresna adalah yang terjadi di Mataram, yaitu perubahan yang pertama kali terjadi di dalam tata hukum di bawah pengaruh Islam, yang dilakukan oleh Sultan Agung, dalam pengadilan pradata, yang dipimpin raja sendiri. Perubahan terjadi pada namanya menjadi pengadilan Surambi,dan tempatnya di serambi mesjid Agung, tidak lagi di Sitinggil. Sedangkan perkara-perkara kejahatannya disebut kisas.Pimpinan pengadilan pun mengalami perubahan, dari tangan raja ke tangan penghulu, yang dibantu beberapa ulama sebagai anggota.
Tresna menyebutkan pula bahwa perubahan yang dilakukan di Mataram, dilakukan pula di Priangan. Menurut laporan Joan Frederik Gobius (Residen di Cirebon tahun 1714-1717) sebagaimana dikutip Tresna, tata usaha Pengadilan di Priangan diatur menurut tata usaha Pengadilan di Mataram, karena Bupati-bupati di Priangan setelah takluk kepada Mataram, dibiarkan tetap menjalankan pemerintahan dan peradilan khusus perkara-perkara padu, sedangkan perkara-perkara pradatadikirimkan ke Mataram. Akan tetapi, karena Priangan jauh dari Mataram, kekuasaan Mataram tidak begitu dirasakan di Priangan, apalagi para Bupati tepat mengirimkan upetinya ke Mataram dan pada waktu yang ditentukan datang menghadap ke Mataram untuk membuktikan kesetiaannya. Oleh karena itu mereka dapat berbuat sekehendaknya di daerah-daerahnya seperti belum ditaklukkan. Akibatnya, banyak perkara yang diselesaikan di masing-masing kabupaten, tidak dikirimkan ke Mataram. Keadaan serupa itu lebih tampak ketika kekuasaan Mataram merosot setelah Sultan Agung dan Amangkurat I wafat.Pada waktu Kumpeni mengadakan penyelidikan tentang keadilan peradilan di tanah Priangan, didapati ada 3 (tiga) macam pengadilan: 1) Pengadilan Agama, 2) Pengadilan Drigama, dan 3) Pengadilan Cilaga.
Pengadilan Agama mengadili perkara atas dasar hukum Islam dan berpedoman kepada rukun-rukun yang ditetapkan oleh para penghulu. Kekuasaan Pengadilan Agama mencakup perkara-perkara mengenai hukuman badan atau hukuman mati, yang sebelumnya termasuk perkara pradata dan diadili di Mataram. Pengadilan Agama berwenang pula mengadili perkara perkimpoian dan waris. Pengadilan Drigama mengadili perkara-perkara yang tidak termasuk wewenang Pengadilan Agama sebagaimana tersebut di atas. Pengadilan ini bekerja dengan memakai hukum Jawa Kuno yang disesuaikan dengan hukum Adat setempat. Pengadilan Cilaga adalah semacam pengadilan wasit, yang khusus untuk orang-orang yang berniaga. Perkara-perkara yang termasuk golongan ini diurus dan diselesaikan oleh suatu badan, yang berasal dari beberapa utusan kaum berniaga.
Bagaimana halnya dengan pengadilan di Kerajaan Banten? Keterangan yang dapat dikumpulkan oleh ahli-ahli sejarah tidak cukup untuk menggambarkan dengan nyata keadaan dan pertumbuhan, maupun sejarah peradilan di Kerajaan Banten. Tresna selanjutnya mengatakan bahwa pengadilan di banten disusun menurut pengertian Islam, kecuali pada abad ke-16 hingga tahun 1600, ada pula bentukan-bentukan penagdilan yang berdasar pada hukum Hindu, karena masih di bawah kekuasaan Pakuan-Pajajaran.
Pada waktu kekuasaan Sultan Hasanudin, atau pada abad ke-17, hanya ada satu macam pengadilan, yang dipimpin oleh Kadhi, sebagai hakim tunggal. Akan tetapi, putusannya yang terkait dengan hukuman pada saat itu masih memerlukan pengesahan dari raja, dan hal tersebut merupakan pengaruh hukum Hindu.
Pada tahun 1602 di negeri Belanda didirikan perserikatan dagang buat Timur-Jauh, yang dinamakan VOC/KOMPENI (De Vereenigde Oast-Indische Compagnie). Di dalam akta pendiriannya ditetapkan beberapa hak dan kekuasaan untuk menyelamatkan tujuannya, berdagang. Selain itu, VOC/KOMPENI diberikan pula hak untuk mengangkat hakim-hakim untuk menjaga keamanan, ketertiban, dan keadilan dalam daerah kekuasaannya. Di dalam instruksi kepada Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia yang pertama tanggal 29 Nopember 1609, diperintahkan supaya Badan Pemerintah Tertinggi di Hindia itu menjadi hakim di dalam perkara pidana maupun perdata. Ketentuan di dalam Octrooi tersebut di atas (Pasal 35) yang memberikan kekuasaan untuk mengangkat hakim-hakim, merupakan dasar kekuasaan hukum dari pengadilan yang kemudian didirikan oleh VOC/KOMPENI di daerahnya.
Pada tanggal 24 Juni 1620 dikeluarkan resolusi yang membentuk suatu majelis pengadilan di bawah pimpinan Baljuw,yang bernama College van Schepenen. College tersebut diserahi pula urusan pemerintahan dan kepolisian di dalam kota. Sebagai badan pengadilan, majelis ini diberi nama Schepenbank, yang merupakan badan pengadilan untuk segala penduduk kota yang merdeka (bukan budak) dari bangsa apa pun, kecuali pegawaipegawai VOC/KOMPENI dan serdau-serdadunya.Schepenbank mula-mula hanya mengadili perkara-perkara sipil saja, tetapi lama-kelamaan ditugaskan untuk mengadili perkara-perkara kriminal.
Pada tanggal 4 Maret 1621 pengurus VOC/KOMPENI di Belanda telah mengeluarkan instruksi yang menetapkan bahwa di daerah yang dikuasai VOC/KOMPENI harus diberlakukan hukum sipil Belanda, di antaranya dalam hukum waris, tetapi pemerintah kolonial tidak dapat melaksanakan instruksi tersebut karena sulit menerapkannya. Oleh karena itu, di dalam Statuten van Batavia yang dikeluarkan pada tahun 1642 ditentukan bahwa untuk pewarisan orang Kristen, orang Tionghoa, orang-orang yang beragama Kuno, dan orang Islam, tetap dilakukan kebiasaan dan adat terkait yang mereka terapkan.
Susuhunan Amangkurat I yang menggantikan Sultan Agung dalam tahun 1645, tidak begitu suka kepada pemuka-pemuka Islam, dan karenanya ia berusaha mengurangi pengaruh alim ulama di dalam pengadilan, dengan pengembilalihan kembali tapuk pimpinan pengadilan ke tangannya sehingga PengadilanPradata dihidupkan kembali. Tahun 1677 adalah titik permulaan jatuhnya kekuasaan Mataram sebagai negara yang berdaulat penuh, yang akhirnya berlanjut dengan terpecahnya Mataram menjadi Yogyakarta dan Surakarta. Hal tersebut berakibat Kumpeni lebih jauh lagi mencampuri urusan peradilan di kedua negara itu.
Pada tahun itu pula Amangkurat I menyerahkan sebagian daerahnya ke Jawa barat, yaitu yang berada di sebelah barat Pamanukan, terus ke Selatan menurut garis lurus sehingga kekuasaan VOC/KOMPENI semakin meluas di luar kota Jakarta. Lalu pada tanggal 31 Mei 1686 dikeluarkannya pula resolusi yang menetapkan kekuasaan hukum badan-badan pengadilan Belanda di kota Jakarta meliputi juga Priangan Tengah (Kabupaten Bandung, Sumedang, dan Parakanmuncang), tetapi hukum Belanda pun tidak dapat dilaksanakan di Priangan Tengah, sehingga pengadilan-pengadilan asli dibiarkan berjalan.
Sejak perjanjian de Hartogh dalam tahun 1688, pengadilan di Cirebon hingga tahun 1806 tidak banyak mengalami perubahan. Dasar perjanjian tersebut adalah perjanjian sebelumnya yang dibuat oleh Tak tetapi tidak dikuatkan oleh Kompeni. Perjanjian dimaksud menjadi cermin keadaan pengadilan di Cirebon pada waktu itu, yang mugnkin sama dengan keadaan ketika Cirebon belum ditaklukkan Mataram pada tahun 1650.
Pada tahun 1705 Priangan Timur jatuh ke tangan VOC/Kompeni sehingga sejak saat itu seluruh Priangan termasuk Cirebon, berada di bawah pemerintahan Kompeni. Namun, karena mengalami kesulitan dalam mengatur pemerintahan yang langsung di bawah pemilikan Kompeni, maka pemilikan atas pemerintahan daerah Priangan diserahkan kepada Pangeran Aria Cirebon. Dan untuk menjalankan pemerintahan itu, Aria Cirebon diberikan pedoman yang terdapat dalam instruksi tanggal 22 Maret 1706, yang menetapkan bahwa para Bupati di Priangan tetap melakukan peradilan di masing-masing daerahnya, tetapi mereka tidak berhak mengadili orang-orang yang bukan penduduk daerahnya dan tidak termasuk rakyatnya. Akan tetapi, pada tanggal 12 Desember 1708 ada resolusi untuk seluruh Priangan, yang ditujukan kepada para Bupati dan pegawai-pegawainya, yang isinya “tetap mengadili rakyatnya golongan Bumiputera, baik dalam perkara sipil maupun perkara kriminal, serta golongan Bumiputera yang merantau, dan melakukan kejahatan di daerahnya. Ketentuan yang termuat dalam resolusi di atas bertentangan dengan instruksi sebelumnya, dan menimbulkan pertentangan pula dalam penerapannya, sebagaimana yang terjadi pada kasus pembunuhan yang dilakukan oleh orang Cirebon di daerah Priangan. Menurut instruksi tahun 1706 dimaksud, pembunuh tersebut harus diserahkan ke Cirebon, tetapi Bupati Priangan mengadilinya di daerahnya berdasarkan resolusi 12 Desember 1708.
Adanya pertentangan dalam aturan hukum dan dalam penerapannya itu mengilhami lahirnya resolusi baru pada tanggal 8 April 1712, yang pada hakekatnya mengulangi isi resolusi 12 Desember 1708. Isi resolusi 8 April 1712 berbunyi “Bupati-bupati dengan pegawainya harus memutus perkara menurut hukum Jawa, dengan tidak perlu mengirimkan orang-orang yang menjalankan kejahatan ke Cirebon, tetapi cukup memberitahukannya ke Residen Cirebon dan Pangeran Aria Cirebon.
Selanjutnya Tresna menyebutkan bahwa dalam tahun 1758 Mr. F.C. Hasselaar, yang menjadi Residen di Cirebon dari tahun 1757 hingga 1765, telah membuat kitab hukum yang disebut Pepakem Cirebon, yang membawa perubahan dalam tata pengadilan di Cirebon. Kitab-kitab Hukum tersebut merupakan kompilasi dari ketentuan-ketentuan hukum Hindu, yang – seiring dengan perjalanan waktu – telah mengalami perubahan. Pengaruh Islam telah nampak ke dalam isi Pepakemkarena di dalamnya menyebutkan adanya Pengadilan Penghulu, sedangkan pengaruh Barat belum nampak di dalam penyimpangan-penyimpangan dari sumber-sumber di atas. Dan dengan lebih menekankan kepada susunannya daripada tugasnya, orang menyebut Pengadilan Penghulu dengan Pengadilan Agama padahal Pengadilan Penghulu itu terutama untuk mengadili perkara-perkara yang tidak ada hubungannya dengan urusan agama.
Sumber lain menyebutkan bahwa sebelum Islam datang ke Indonesia, di kepulauan Nusantara sudah ada peradaban dan kebudayaan, serta kerajaan yaitu Kerajaan-kerajaan : Sriwijaya, Tarumanegara, Kutai, Kedah, Mataram, Kediri, Singasari, Majapahit, Ternate, Tidore. Dan para ahli sejarah telah mengemukakan berbagai pendapat tentang abad kedatangan Islam ke Indonesia, yaitu : abad ke-7 (abad ke-1 Hijriah, abad ke-10 (abad ke-4 Hijriah), dan abad ke-13 (abad ke-7 Hijriah).
Pendapat-pendapat di atas didasarkan pada :
1. kedatangan orang Islam ke Sumatera pada tahun 650 H., yang berbetulan dengan masa Pemerintahan Khalifah Usman bin Affan.
2. makam seorang wanita Islam di Gresik yang bernama Fatimahbinti Maimun bin Hibatallah, berangka tahun 475/495 H. (1082/1102 M.).
3. keberadaan pedagang-pedagang Islam di tanah Jawa sebelum Raja kediri terakhir, Kertajaya (1200-1222), tetapi belum mendapatkan perhatian para ahli sejarah karena rajanya masih beragama Hindu dan Budha, dan keberadaan muslim di Perlak, Aceh pada tahun 1292, serta keber-Islam-an Raja Sumatera Utara, al-Malik al-Salih. Menurut Suparman Usman, data di atas menunjukkan bahwa Islam datang ke kepulauan Nusantara jauh sebelum penjajah Belanda datang ke Indonesia, sekitar abad ke-15. Menurut penyusun, dengan memperhatikan kedatangan VOC/KOMPENI pada tahun 1596, abad yang tepat Belanda datang ke Indoensia adalah abad ke-16.
Orang-orang Belanda datang ke Indonesia (Banten) untuk memburu rempah-rempah yang laku di pasaran Eropa. Mereka bergabung dengan Portugis, Inggeris, dan Spanyol. Menurut Bushar Muhammad, sewaktu datang Beladan mengira di Indonesia belum ada hukum, tetapi ternyata sudah ada, yang sesuai dengan agamanya, yaitu Islam, Hindu, dan Nasrani, di samping hukum Adat. Dan hukum Islam telah menjadi hukum yang ditaati oleh umat Islam Indonesia bahkan sudah menjadi hukum nasional pada Kerajaan Islam Mataram (1613-1645) di bawah Sultan Agung.
Secara global sejarah perkembangan lembaga Peradilan Agama di Indonesia dapat dilihat pada dua periode , yaitu periode sebelum proklamasi dan periode sesudahnya. Periodesebelum proklamasi terbagi kepada masa kerajaan, masa pra kolonial, dan masa kolonial. Sedangkan periode proklamasiterbagi kepada masa Orde Lama, masa Orde Baru, dan masa Orde Reformasi.
Peradilan Agama sebelum Proklamasi
Achmad Rosetandi menyebutkan bahwa Pengadilan Agama sesungguhnya telah dijumpai kira-kira abad keenambelas, yaitu pada zaman pemerintahan raja-raja yang memeluk agama Islam di Indonesia. Hakim (Pengadilan, penyusun) Agama saat itu diangkat oleh Sultan atau raja. Jabatan tersebut tidak terpisahkan dari pemerintahan umum lainnya. Pengadilan Agama ini diselenggarakan oleh penghulu, yaitu pejabat administrasi kemesjidan setempat. Pada masa itu tidak ada pengadilan resmi lain yang melayani rakyat, selain Pengadilan Agama, yang persidangannya berlangsung di serambi mesjid.
Pada abad XVI (1596 M) VOC/KOMPENI (organisasi perusahaan dagang Belanda) merapat di Pelabuhan Banten, Jawa Barat, untuk berdagang, tetapi ternyata organisasi tersebut mempunyai fungsi lain yaitu sebagai badan pemerintahan. Dalam menjalankan fungsi terakhirnya ini, VOC/KOMPENI menggunakan hukum Belanda pada daerah-daerah yang dikuasainya, dan secara perlahan badan-badan peradilan pun dibentuknya pula, tidak terkecuali peradilan agama. Namun, badan-badan peradilan yang dibentuk VOC/KOMPENI tidak efektif karena hukum yang diterapkannya bukan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, melainkan hukum yang dibawanya dari Belanda. Oleh karena itu, pada tahun 1642, kewarisan bagi orang Islam Indonesia didasarkan pada hukum waris Islam.
Karena badan-badan peradilan yang dibentuknya tidak efektif maka VOC/KOMPENI meminta D.W. Freijer untuk menyusun “Compendium yang memuat hukum perkimpoian dan hukum kewarisan Islam”, yang selanjutnya hasil kerjanya itu disempurnakan oleh para penghulu dan ulama Islam pada saat itu, lalu digunakan oleh lembaga-lembaga peradilan dalam menyelesaikan sengketa yang diajukan kepadanya. Bahkan Lodwijk Willem Christian van den Berg berpendapat bahwa hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Menurutnya, orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai kesatuan. Pendapat van den Berg ini dikenal dengan teori receptio in complexu. Selain Berg, Mr. Scholten van Oud Haarlem menulis sebuah nota kepada pemerintahan Hindia Belanda yang isinya antara lain “Untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan seperti perlawanan bumiputera jika agamanya dilanggar, maka harus dibiarkan mereka tetap menerapkan hukum agama dan adat istiadat mereka. Menurut penyusun, peraturan-peraturan tersebut di atas bertujuan menghindari meluasnya resistensi dan perlawanan umat Islam terhadap Belanda dan kepentingannya.
Pada tahun 1808 dikeluarkan instruksi Pemerintah Hindia Belanda kepada para Bupati, yang isinya “Terhadap (1) urusan-urusan agama orang Jawa tidak akan dilakukan gangguan-gangguan, (2) pemuka-pemuka agama dibiarkan untuk memutuskan perkara-perkara tertentu dalam bidang perkimpoian dan kewarisan dengan syarat tidak akan ada penyalahgunaan.
Pada tahun 1820, melalui instruksi kepada para Bupati (Pasal 13 Regenten Instructie) yang berbunyi antara lain “Bahwa perselisihan mengenai pembagian waris di kalangan rakyat hendaknya diserahkan kepada para alim ulama Islam.”
Suparman Usman menyebutkan bahwa pada tahun 1823 Gubernur Jenderal (Belanda) mengeluarkan resolusi No. 12 Tahun 1823 tanggal 3 Juni 1823 tentang peresmian Pengadilan Agama Palembang. Penyusun tidak mendaptkan tersebut dari sumber lainnya padahal Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tidak mengecualikan Kota Palembang dari peraturan tersebut.
Selanjutnya Pemerintah Belanda mengeluarkan Stb.1835 No. 58 yang di dalamnya dinyatakan tentang wewenang Peradilan Agama di Jawa dan Madura untuk memutuskan perselisihan tentang perkara perkimpoian dan pembagian harta benda dan sebagainya yang harus diputuskan menurut hukum syara’ Islam, maka yang harus menjatuhkan keputusan dalam hal itu hendaknya betul-betul ahli agama Islam. Akan tetapi segala persengketaan dari hal pembagian harta benda atau pembayaran yang terjadi karena keputusan itu harus dibawa ke muka pengadilan biasa. Pengadilan itulah yang akan menyelesaikan perkara itu dengan mengingat keputusan ahli agama dan supaya keputusan itu dijalankan.
Selain itu, disebutkan dalam Pasal 78 RR(Regeering Reglement) 1854 yang dimuat dalam Stb. 1855 No. 2 tentang batas-batas kewenangan Pengadilan Agama, yaitu : (a) Pengadilan Agama tidak berwenang dalam perkara pidana, dan (b) Apabila menurut hukum-hukum agama dan adat-adat lama perkara itu harus diputuskan oleh penghulu/pemuka agama atau peradilan agama. Terhadap Pasal 78 huruf a RR tersebut, penyusun dapat memahaminya karena hukum pidana merupakan hukum publik, sekalipun keberlakuannya dapat dikhususnya untuk umat Islam. Dan Pasal 75 RR memberikan instruksi kepada pengadilan agar tetap mempergunakan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan-kebiasaan itu sejauh tidak bertentangan dengan kepatutan dan keadilan yang diakui umum karena – menurut penyusun – hukum agama merupakan hukum yang hidup dan berkembang pada masa pemerintahan penjajah Belanda.
Pendapat van den Berg dan Paul Scolthen itulah yang mendorong lahirnya Stb. 1882 Nomor 152. Akan tetapi, Staatsblad tersebut belum menentukan secara jelas bidang kewenangan Peradilan Agama. Peradilan Agama sendiri yang menentukan kewenangannya yang menyangkut hukum perkimpoian dan hukum kewarisan, sebagai kelanjutan dari praktek peradilan dalam masyarakat bumiputera muslim yang berlangsung sejak zaman VOC/KOMPENI dan kerajaan-kerajaan Islam sebelumnya.Hal tersebut merupakan pengakuan dan pengukuhan resmi terhadap sesuatu yang telah ada dalam masyarakat, dan masih berjalan ± 2 abad setelah kedatangan VOC/KOMPENI dan awal-awal masa pemerintahan Kolonial, yang akhirnya dicoba untuk dihapuskan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Keadaan yang demikian berimplikasi pada lembaga peradilan pemerintahan Hindia Belanda (Indonesia sebelum merdeka) yang mempunyai lingkungan dan susunan serta lingkup kekuasaan yang berbeda-beda, yaitu :
a. Lingkungan Peradilan Pemerintah (Gouvernements-Rechtspraak.)
b. Lingkungan Peradilan Agama
c. Lingkungan Peradilan Swapraja
d. Lingkungan Peradilan Adat
e. Lingkungan Peradilan Desa
f. Lingkungan Peradilan Khusus.
Organisasi pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama pertama kali dibentuk pada tanggal 19 Januari 1882 oleh Raja Belanda dalam sebuah keputusan No. 24 yaituStaatsblad 1882 Nomor 152 tentang Pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Staatsbladtersebut tidak menyebutkan kewenangan Pengadilan Agama, sehingga kewenangannya dikembalikan kepada Stb. 1835 No. 58. Staatsblaad ini merupakan reorganisasi terhadap Pengadilan Agama, yang memberikan landasan dasar bagi otonomi yang lebih luas dan tumbuhnya pandangan yang lebih luas di kalangan pejabat agama sendiri. Menurut Dainel S. Lev, reorganisasi ini telah melahirkan 2 (dua) landasan penting yang berkembang secara perlahan-lahan, yaitu: tumbuhnya spesialisasi dalam pelaksanaan tugas Pengadilan Agama dan terbentuknya pengawasan nasional.
Sekalipun dibentuk oleh pemerintah, Pengadilan Agama tidak memperoleh kedudukan yang sama dengan Pengadilan Negeri, kecuali ketuanya saja yang mendapat tunjangan tetap karena berkedudukan pula sebagai PenghuluLandraad.
Pada tahun 1909 Pemerintah mengeluarkan Stb.1926 No. 128 dan pada tahun 1926 mengeluarkan Stb.1926 No. 232, yang mengubah pelaksanaan Stb. 1882 No. 152, dan hal itu menimbulkan kekecewaan di kalangan ahli hukum dan umat Islam. Di samping itu, keadaan demikian membangkitkan semangat usaha untuk melakukan perubahan, dan pada tahun 1931 – dengan Organisasi(Ordonansi, pen.) tanggal 31 Januari 1931– dalam Stb.1931 No. 53 ditetapkan Peraturan tentang 3 Pokok Ketentuan, yaitu : 1) Perubahan Raad Agama menjadi Penghulu Gerecht yang terdiri dari dua penasehat dan satu panitera, 2) dengan kekuasaan pada perkara yang berkaitan dengan nikah, talak, dan rujuk. Perkara hadlanah, wakaf, dan lain-lain, dicabut dan diserahkan kepada Landraad, 3) ada tambahan acara pada Pengadilan Agama, dan 4) Pembentukan Mahkamah Islam Tinggi sebagai pengadilan banding. Menurut penyusun, bagian kedua dari angka 2) di atas dicabut karena berkaitan dengan masalah keuangan/ekonomi sehingga dikhawatirkan menjadi modal untuk menambah kekuatan dalam melawan penjajah secara fisik.
Busthanul Arifin mengatakan bahwa pemerintah kolonial Belanda dalam politik hukum selalu menangani segala bidang hukum secara concerted (direncanakan bersama). Sarjana-sarjana hukum di lingkungan perguruan tinggi membuat konsep-konsep ilmiah, dan pemerintah merekayasa hasil-hasil karya ilmiah itu untuk kepentingan politik hukum. Segala peraturan hukum tentang peradilan agama itu adalah hasil rekayasa brilian di bidang hukum, khususnya di bidang peradilan. Rekayasa ilmiah di bidang hukum ini semua ditujukan untuk mengeliminasi hukum Islam yang menjadi kesadaran hukum rakyat Indonesia, dan yang di mata kolonial dianggap menjadi penghalang kolonialisme dan imprealisme. Rekayasa ilmiah hukum meliputi (1) ide unifikasi hukum, (2) penemuan hukum adat, dan (3) membuat citra palsu tentang peradilan agama.
Rekayasa ilmiah tersebut dilaksanakan oleh penguasa waktu itu dengan hati-hati dan bertahap. Pengadilan Agama tidak dihapuskan sama sekali tetapi citranya dirusak, diberikan citra palsu. Dan akibatnya, jadilah Pengadilan Agama seperti yang diwarisi sekarang ini (1996, pen), yang hidup segan mati tak mau, peradilan yang merupakan quasi pengadilan, pengadilan yang tanpa kekuasaan nyata, dan karenanya tanpa wibawa, dan hal itu demikian tertanam sehingga peradilan agama diletakkan di luar kehakiman, judiciary.
Stb. 1937 No. 116 yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal dengan Keputusan No. 9 tanggal 19 Pebruari 1937, dan mulai berlaku 1 April 1937, merupakan penambahan beberapa pasal dalam Stb. 1882 No. 152, yang sekaligus mempersempit kewenangan Pengadilan Agama, karena di samping perkara hadalnah, wakaf, dan lain-lain, hal-hal yang berkaitan dengan tuntutan pembayaran uang atau penyerahan harta benda yang berhubungan dengan perkara nikah, talak, dan rujuk pun ikut dicabut pula. Dan mulai 1 Januari 1938 – berdasarkan Stb. 1937 No. 610 – diadakan sebuah Mahkamah Islam Tinggi (Hof Voor Islamietische Zaken) dengan aturan pelaksanaannya berupa penambahan atas Pasal 7 Stb. 1882 No. 152, yaitu dari Pasal 7 b sampai dengan 7 m. Akan tetapi semua protes masyarakat tidak diperhatikan sehinga Stb. 1882 No. 152 dengan segala perubahannya tetap berlaku di Jawa dan Madura. Menurut Achmad Roestandi, penggerak di belakang usaha-usaha perubahan terhadap wewenang Pengadilan Agama melalui Staatsblaad 1937 No. 116 adalah pendukung hukum adat yang dipelopori oleh ter Haar. Mereka berdalih bahwa dalam kenyataannya pengaruh Islam tidak mendalam pada aturan-aturan kewarisan dalam keluarga di Jawa dan di tempat-tempat lain di Indonesia.Pengaruh-pengaruh itulah yang mengakibatkan wewenang Pengadilan Agama dalam bidang waris diserahkan kepada Pengadilan Negeri.
Pemerintah Hindia Belanda mendirikan pula Pengadilan Agama di Kalimantan Selatan dan Timur melaluiStb. 1937 No. 638 dan 639, dengan sebutan Kerapatan Qadli (untuk tingkat pertama) dan Kerapatan Qadli Besar (untuk tingkat banding), dengan kompetensinya sebagaimana pada Pasal 3 Stb. Tersebut di atas yang pada dasarnya sama dengan bunyi Pasal 2a Stb. 1882 No. 152 di atas.
Menurut Bustanul Arifin, dari sisi sejarah peradilan agama di Indonesia telah pernah dicoba untuk dihapuskan oleh politik hukum kolonial dengan konsep-konsep hukum sekuler demi kepentingan politik kolonial mereka tetapi gagal, walaupun berhasil membuat peradilan agama menjadi kerempeng dan sebagai alat adu domba antara golongan-golongan agama di Indonesia. Achmad Roestandi menyebutkan pula bahwa perkembangan kewenangan Pengadilan Agama mengalami pasang surut. Ada yang sesuaidengan nilai-nilai Islam dan kenyataan yang hidup di masyarakat, dan ada pula yang dibatasi oleh kebijakan-kebijakan dan peraturan perundang-undangan.
Pada masa pendudukan Jepang, semua peraturan perundang-undangan yang ada sebelumnya dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum Pemerintahan Dai Nippon. Dan pada masa ini lembaga Peradilan Agama tetap dipertahankan dengan perubahan nama menjadi "“Coorio Hooin”, dan Mahkamah Islam Tinggi (sekarang PTA) berubah menjadi"Kaikoo Kootoo” yang didasarkan pada Pasal 3 Aturan Peralihan Bala Tentara Jepang (Osamu Seizu) pada tanggal 7 Maret 1942.
Peradilan Agama sesudah Proklamasi
Proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan pengesahan keberlakuan UUD 1945 sebagai konstitusi negara Republik Indonesia menghapus konstitusi pemerintah Hindia Belanda yang terdapat dalam Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie (yang disingkat IS), dan hal tersebut mengakibatkan teori Receptie kehilangan dasar hukumnya sehingga menjadi teori Receptie Exit.
Setelah kemerdekaan Indonesia keberlakuan hukum Islam dalam ketatanegaraan Indonesia berpijak pada landasan filosofis Pancasila dan landasan yuridis UUD 1945, khususnya Pasal 29.
Satu tahun setelah Indonesia merdeka, yang selanjutnya menjadi bagian dari masa Orde Lama,pembinaan Peradilan Agama dipindahkan dari Kementerian Kehakiman kepada Kementerian Agama melalui Peraturan Pemerintah No. 5/SD/1946, yang menyebabkan semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dipindahkan dari Kementrian Kehakiman kepada Kementrian Agama. Lalu berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948, Peradilan Agama dimasukkan ke Peradilan Umum. Namun – menurut Hadari Djenawi Taher – karena tidak sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia, undang-undang tersebut tidak pernah dinyatakan berlaku. Menurut penyusun, pembuat undang-undang tidak belajar dari sejarah pada masa penjajahan Belanda terhadap bangsa Indonesia yang menyebabkan timbulnya resistensi dan penolakan umat Islam Indonesia.
Pada perkembangan selanjutnya, berdasarkan Undang-Undang Darurat (UUDr) Nomor 1 Tahun 1951, Pemerintah menegaskan pendiriannya untuk tetap mempertahankan Peradilan Agama, menghapus Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat. Undang-Undang Darurat di atas merupakan usaha kedua, yang mengarah pada penghapusan Pengadilan Agama. Usaha sebelumnya untuk menghapuskan Pengadilan Agama telah dilakukan pula melalui undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 19 tahun 1948. Usaha tersebut sebaliknya menimbulkan minat untuk lebih memperhatikan Pengadilan Agama.
Pada tahun 1952 di samping Urusan Agama, Pendidikan, dan Penerangan, dibentuk pula Biro Peradilan Agama, yang kemudian berubah menjadi Direktorat Peradilan Agama. Biro itulah yang mengusahakan pembentukan Pengadilan-pengadilan Agama di luar Jawa dan Madura, berusaha mempertahankannya dari serangan-serangan, dan melakukan hal-hal lain yang diperlukan untuk mengurusi pelaksanaan peradilan. Dengan adanya Biro ini, Pengadilan Agama memperoleh perlindungan yang lebih kuat sebagai aparat penegak hukum nasional.
Sebagai pelaksanaan Undang-Undang Darurat di atas, pada tahun 1957 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Peradilan Agama di luar Jawa – Madura dan Kalimantan Selatan – Timur, dengan kompetensi sebagai berikut:
“Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan perselisihan antara suami-isteri yang beragama Islam, dan perkara yang menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum agama Islam, yang berkenaan dengan nikah, talak, rujuk, fasakh, nafkah, maskimpoi, tempat kediaman (maskan), mut’ah, dan sebagainya, hadlanah, perkara waris-malwaris, wakaf, hibah, shadaqah, baitulmal, dan lain-lain yang berhubungan dengan itu. Demikian juga memutuskan perkara perceraian dan mengesahkan bahwa syarat ta’lik sudah berlaku.”
Ismail Suny mengatakan bahwa keberlakuan hukum Islam pada masa-masa tersebut hanya bersifat persuasive source (sumber persuasif), yaitu keharusan yakin dan menerima). Menurut penyusun, sebagian umat Islam menginginkan dan menerapkannya sebagai wujud keimanan mereka. Hal itu berlangsung sampai dikelurkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yaitu kembali kepada UUD 1945 dan Piagam Jakarta. Menurut penyusun, dekrit Presiden 5 Juli 1959 hanya kepada UUD 1945, sedangkan Piagam Jakarta disebutkan dalam salah satu pertimbangannya.
Eksistensi Peradilan Agama pada masaOrde Baru ditunjukkan dengan kelahiran Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman memantapkan kedudukan Peradilan Agama sebagai salah satu kekuasaan kehakiman di Indonesia, dan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b dan ayat (2). Selanjutnya Pasal 12 undang-undang tersebut menyatakan bahwa “Susunan, Kekuasaan, serta Acara dari Badan-badan Peradilan tersebut dalam Pasal 10 ayat (1) diatur dalam undang-undang tersendiri.
Menurut penyusun, secara de yure Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 mendudukkan secara sejajar antara Peradilan Agama dan Peradilan Umum, dan hal tersebut diperkuat lagi dengan kelahiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkimpoian. UU Nomor 1 Tahun 1974 bukanlah berasal dari RUU Perkimpoian yang diajukan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 31 Juli 1973.
Keinginan untuk memiliki UU Perkimpoian sebenarnya sudah didambakan oleh seluruh warga masyarakat, tetapi RUU yang diajukan Presiden pada tanggal 31 Juli 1973 menuai protes dan kritik yang keras dari kalangan Islam. Setelah para anggota DPR menerima draft tersebut, dan belum sempat dibicarakan, terjadi gelombang protes di masyarakat dan di DPR sendiri.
Kalangan Islam menilai bahwa RUU Perkimpoian yang diajukan oleh pemerintah bertentangan dengan keimanan. K.H. Yusuf Hasyim, anggota DPR (saat itu) menilai bahwa RUU tersebut terang-terangan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, tetapi juga memusuhi Islam. Menurutnya, RUU baru itu memberikan perlindungan hukum dalam bidang perkimpoian kepada golongan Cina, Eropa, dan Kristen, dan memaksa umat Islam keluar dari hukum Islam. Para pengeritik menginginkan agar hukum Islam diperhatikan dalam penyusunan RUU Perkimpoian.
Gregorius Soegiharto, Ketua Fraksi Karya, menanggapi balik keinginan itu dengan mengatakan bahwa jika saja ajaran-ajaran agama masih dipegang, maka tidak akan ada kemajuan-kemajuan. Pernyataan Gregorius tersebut semakin mendidihkan suasana. Yusuf Hasyim menuduh balik pernyataan tersebut dan menganggapnya sebagai ekspresi daris eorang komunis yang memang menjadi musuh agama. HAMKA pun menulis di Harian KAMI bahwa di balik RUU Perkimpoian ada motif politik keagamaan, yang sengaja dibuat untuk memancing protes umat Islam, dan semakin memojokkannya, guna membenarkan tuduhan sebagai ekstrem kanan atau G30S. HAMKA melangkah lebih jauh pada bagian akhir tulisannya dengan mengeluarkan fatwa bahwa mengikuti RUU Perkimpoian tersebut haram, dan yang tetap melaksanakannya dihukumi kafir. Tulisan HAMKA itu semakin meningkatkan penolakan RUU Perkimpoian tersebut. Badan Kontak generasi pelajar Islam menilai RUU tersebut merusak akidah Islam dan tidak menghormati kesadaran hukum mayoritas bangsa (muslim).
Penelitian beberapa pihak tentang ketidaksesuaian RUU Perkimpoian tersebut dengan hukum Islam diperkuat oleh pernyataan akademis Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, yang menyatakan setidaknya ada 14 pasal dari RUU tersebut yang bertentangan dengan hukum Islam, yaitu Pasal-pasal: 1, 2, 3 ayat (1), (2), 4 ayat (2), 5 ayat (2), 6 huruf a dan b, 13 ayat (2). Menurut Yusuf Hasyim, setidaknya ada 13 hal yang bertentangan dengan hukum Islam, yaitu yang terdapat pada Pasal-pasal: 2 ayat (1), 3 ayat (2) 7 ayat (1) dan (2), 8, 10 ayat (2), 11 ayat (2), 12 ayat (1), 13 ayat (1) dan (2), 37 ayat (1) 39, 46 butir (c) dan (d), 49, dan Pasal 62.
Gelombang demonstrasi menentang RUU Perkimpoian terjadi hampir setiap hari dan semakin besar. Aparat keamanan mulai menangkapi para demonstran. Menteri Agama ketika hendak menyampaikan keterangan pemerintah dalam gedung Parlemen pun terpaksa diamankan oleh petugas karena gedung Parlemen praktis dikuasai oleh pemuda dan mahasiswa, sementara anggota DPR yang tidak setuju dengan RUU Perkimpoian meninggalkan sidang. Bahkan Menteri Agama dan Menteri Kehakiman, Prof. Umar Seno Aji, terpaksa dievakuasi. Dan hampir semua ulama dari berbagai daerah memberikan reaksinya sendiri-sendiri dan bersama-sama. K.H. Bisri Syamsuri menggagas sekaligus memprakarsai pertemuan ulama se-Jawa Timur, di denanyar, Jombang, pada tanggal 22 Agustus 1973, yang melahirkan kesepakatan untuk menyerukan kepada umat Islam untuk tidak mengikuti atau mentaati RUU Perkimpoian itu jika tetap diundangkan. Selain kritik, usul perubahan disampaikan pula oleh para ulama.
Secara umum ada 3 sikap yang dihasilkan dari pertemuan ulama Jawa Timur: 1) segala persoalan yang dianggap prinsip dari sisi hukum Islam, tidak ada tawar-menawar Tawar menawar (sikap) ini harus berhasil. Jika tidak, Fraksi persatuan harus menyatakan tidak menerima pengundangan RUU tersebut, 2) terhadap hal-hal yang hanya memiliki pertalian dengan prinsip hukum Islam harus diupayakan semaksimal mungkin supaya dapat diadopsi ke dalam RUU Perkimpoian tersebut, tanpa harus memboikotnya, dan 3) terhadap bentuk materi yang tidak dianggap prinsipil dari sisi hukum Islam, agar diupayakan sebisa mungkin. Hasil musyawarah tersebut disampaikan pula kepada PBNU, dan Syuriah PBNU pun mengambil sikap yang sama. Fraksi persatuan Pembangunan pun mengadopsi hasil musyawarah ulama tersebut sebagai sikap resmi Majelis Syuro PPP dan menganggapnya sebagai sikap partai.
Situasi yang semakin genting ini mengisyaratkan kepada Pemerintah bahwa kompromi adalah jalan terbaik, dan Pemerintah pun menyadari bahwa stabilitas negara sedang dipertaruhkan, serta RUU Perkimpoian tanpa amandemen hanya akan menyebabkan ketidakstabilan politik dan sosial. Kepedulian yang sama juga ditunjukkan oleh ABRI. Dalam situasi itulah, Jenderal Soemitro, Daryatmo, dan Sudomo menemui dan melakukan lobi dengan para ulama Jawa Timur. Pendekatan yang dilakukan oleh Jenderal Soemitro itu sekaligus menunjukkan adanya keterpecahan dan rivalitas di tubuh ABRI.
Partai Persatuan Pembangunan melalui utusannya (K.H. Bisri Syamsuri dan K.H. Masykur) menghadap presiden Soeharto untuk menerangkan keberatan-keberatan P3 tentang rumusan RUU tersebut. Presiden sendiri menyatakan memahami bahwa peristiwa perkimpoian tidaklah semata-mata perkara hukum, tetapi juga ibadah. Dan lobi antara ABRI dan ulama itu menghasilkan beberapa kesepakatan. Dalam catatan Ball, beberapa kesepakatan itu adalah: 1) Hukum Islam sehubungan dengan perkimpoian tidak akan dikurangi atau diubah, 2) Peran Peradilan Agama tidak akan dikurangi atau diubah, 3) Pencatatan nikah sipil tidak akan menjadi syarat sahnya nikah; perkimpoian yang dilakukan menurut ajaran agamanya dianggap mencukupi, dan 4) pengaturan-pengaturan lain diperlukan untuk mencegah talak dan poligami yang semena-mena.
Menurut penulis, dari pergulatan politik hukum dalam merumuskan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkimpoian, bila dilihat dari pembicaraan-pembicaraan/pembahasan-pembahasan dan pendapat-pendapat yang muncul saat itu merupakan hasil maksimal yang dapat dicapai, dan secara sederhana merupakan titik temu dan kompromi yang dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) yang sampai sekarang masih menjadi perbedaan penafsiran.
Sayuti Thalib mengatakan bahwa penerimaan DPR terhadap RUU tentang Perkimpoian dalam sidang plenonya tanggal 22 Desember 1973 merupakan hadiah bagi kaum ibu Indonesia. Ia mengatakan pula bahwa keberadaan RUU tersebut tidak terlepas dari tuntutan organisasi-organisasi wanita Indonesia sejak zaman penjajahan, yang hasilnya merupakan langkah pertama dalam memenuhi kehendak masyarakat Indonesia. RUU sebagaimana tersebut di atas disahkan oleh Presiden menjadi Undang-Undang pada tanggal 2 Januari 1974 (LNRI Tahun 1974 Nomor 1 dan Tambahan LNRI Nomor 3019).
Dikatakannya pula bahwa dari sudut pandang hukum Islam, Undang-Undang ini telah menolong menetapkan secara tertulis apa yang selama ini telah berkembang dalam masyarakat Indonesia dan tidak berbeda hukum Islam sendiri, walaupun perbedaan-perbedaan yang mencolok pada saat pembahasan RUU Perkimpoian, baik di dalam maupun di luar DPR, tidak dapat dihapus begitu saja. Hal penting yang patut dicatat adalah bahwa memaksakan pendapat kepada masyarakat banyak yang tidak menjadi suara hati mereka tidak dapat dilakukan di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkimpoian menampak-jelaskan kedudukan Peradilan Agama dalam sistem peradilan di Indonesia. Hanya saja putusan dan penetapan Pengadilan Agama tidak dapat dilaksanakan sebelum ada pengukuhan dari Peradilan Umum. Hal itu menunjukkan politik hukum penjajah Belanda masih memberikan pengaruh terhadap para pembuat undang-undang di negeri ini. Busthanul Arifin mengatakan pula bahwa para ahli hukum Indonesia merupakan korban dari rekayasa ilmiah hukum zaman kolonial, dan memerlukan waktu yang panjang untuk benar-benar membebaskan alam pikiran kita dari akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perekayasaan itu, walaupun proklamasi kemerdekaan Indonesia dan UUD 1945 telah memupus secara prinsipal rekayasa-rekayasa tersebut. Perekayasaan hukum secara ilmiah itu dilaksanakan dengan baik oleh rezim kolonial sehingga sampai sekarang pun (1996, tahun penerbitan buku, pen.) manusia-manusia Indonesia masih bergulat untuk melepaskan dirid ari kungkungan rekayasa itu.
Sehubungan dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, dalam upaya merealisasikan Pasal 12 undang-undang tersebut, Pemerintah telah menyiapkan Rencana (baca : Rancangan) Undang-Undang tentang Peradilan Agama. Hal ini – menurut penyusun – menunjukkan secara de facto keterlibatan Mahkamah Agung secara langsung untuk mendudukkan secara sama Peradilan Agama dan Peradilan lainnya, yang dapat dikatakan dimulai dari penyiapan RUU Peradilan Agama.
Busthanul Arifin menyebutkan bahwa lebih dari 2 dasawarsa yang lalu Prof. Mahali, S.H. (waktu itu Ketua Pengadilan Tinggi Medan dan Guru Besar USU), membuat kertas kerja berjudul “Beberapa Catatan tentang Peradilan Agama” yang di dalamnya disebutkan tentang beberapa peraturan resmi (termasuk instruksi-instruksi bagi para bupati) yang menyangkut peradilan agama di daerah-daerah seluruh Indonesia, dan ia menemukannya sejak tahun 1808, lalu ditelusurinya sesudah masa itu serta membaginya menjadi sebelum RR 1854 dan sesudahnya, hingga tahun 1882 dengan Stb. 1882 No. 152 yang terkenal, lalu diubah dengan Stb. 1931 yang tidak sempat berlaku – karena anggaran belanja negara tidak mengizinkan – kecuali tentang pengurangan kewenangan Pengadilan Agama dalam hal kewarisan, yang dialihkan ke Pengadilan Negeri.
Prof. Mahali menyinggung pula secara sepintas tentang Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957, yang dianggapnya sekedar mengisi kekosongan peraturan peradilan agama di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan. Lalu, dalam kesimpulannya, beliau mengharapkan agar peradilan agama diatur dengan undang-undang tersendiri.
Setelah berjalan sekitar 15 tahun sesudah kelahiran Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkimpoian, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-undang Peradilan Agama yang – setelah diundangkan pada tanggal 29 Desember 1989 – diberi nama dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang tersebut memperkokoh kedudukan dan susunan Peradilan Agama karena untuk melaksanakan putusan dan penetapannya tidak memerlukan pengukuhan Peradilan Umum.
Pemerintah Orde Baru yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 telah merealisasikan kebenaran sejarah bahwa golongan Islam membutuhkan suatu peradilan agama yang baik dan kompeten serta berwibawa bagi aparat kehakiman menurut Pasal 24 UUD 1945.
Sebelum RUU Peradilan Agama disahkan, tepatnya pada dekade 80-an, terjadi perubahan drastis dalam bidang sosial, agama, dan khususnya politik. Umat Islam – dalam menyalurkan aspirasi politiknya – tidak lagi terjebak pada bentuk-bentuk formalisme dengan kecenderungan eksklusivitas yang tinggi seperti tuntutan berdirinya negara Islam, tetapi lebih substantif dan integratif, lebih mengarah pada sikap-sikap inklusif, dan menghindarkan diri dari pemisahan-pemisahan kategoris yang kaku. Menurut catatan Bahtiar Effendy, tujuan tertinggi dari perubahan orientasi politik demikian itu adalah terbentuknya hubungan yang saling melengkapi dan harmonis antara Islam dan negara. Selain itu – menurut Bambang Sutisna, mantan Ketua Pansus RUU tentang Peradilan Agama, – pendapat dan tanggapan yang berkembang dalam masyarakat yang cukup hangat dan kadang-kadang kontroversial, semula memang menimbulkan kekhawatiran tetapi kemudian menjadi motivasinya untuk lebih berhati-hati dan menempatkan diri selaku pemandu yang obyektif dan proporsional.
Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama (RUU-PA) yang disampaikan oleh Pemerintah kepada DPR dengan Amanat Presiden Nomor: R. 06/PU/XII/1988 tanggal 3 Desember 1988, telah menarik perhatian masyarakat luas dan menimbulkan berbagai tanggapan yang kadang-kadang kontroversial. Dalam DPR-RI proses pembahasan berlangsung dengan senantiasa menjunjung tinggi asas musyawarah untuk mufakat dan menempatkan kepentingan seluruh rakyat di atas kepentingan pribadi atau golongan, walaupun sering terjadi adu argumentasi yang keras untuk mempertahankan pendiriannya masing-masing.
Perubahan orientasi dan strategi politikIslam ini menjadi titik poin melunaknya politik negara terhadap Islam, yang tidak lagi dipandangnya sebagai ancaman, dan partai-partai politik Islam terpaksa berbenah mengikuti alur yang dikembangkan oleh para intelektual muslim. Dalam perkembangan-perkembangan selanjutnya, setelah merasa pendukung utamanya sudah mulai tidakmenikmati kepemimpinannya, Soeharto mulai melirik Islam sebagai alternatif sehingga terjadi pertemuan dua kepentingan yang selama periode-periode sebelumnya selalu berlawanan. Pertemuan dua kepentingan itu akhirnya menghasilkan sikap politik penguasa yang responsif dan akomodatif terhadap kepentingan politik Islam, dan salah satunya ditunjukkan dengan pengajuan RUU Peradilan Agama pada tanggal 3 Desember 1988 ke DPR, yang selama 17 tahun dirintis oleh Departemen Agama.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 adalah undang-undang yang secara politis sangat strategis. Undang-undang tersebut selain memantapkan keberadaan Peradilan Agama, juga memfasilitasi pelembagaan hukum Islam lebih lanjut sebagaimana dituntut oleh Pasal 49. Munawir mengatakan bahwa pengajuan RUU Peradilan Agama bertujuan memberikan wadah bagi pemberlakuan hukum-hukum Islam lainnya di kemudian hari. Dan ketika mengatakan demikian, sebenarnya Munawir telah mengantongi draft hukum materil Islam, yang disarikan dari 13 kitab fikih bermazhab Syafi’i.
Selanjutnya pada tahun 1985 dibentuk sebuah tim yang didasarkan pada Surat Keputusan Bersama antara Menteri Agama dan Ketua Mahkamah Agung, No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985, tanggal 25 Maret 1985, dan Ketua Muda MARI Urusan Lingkungan Peradilan Agama saat itu, Busthanul Arifin, salah seorang penggagas KHI, secara cerdik memanfaatkan fenomena yang terjadi di NU, yang tipe kepemimpinannya kharismatik serta keputusannya mudah diterima oleh anggota. Dan termasuk bagian dari strateginya adalah meminta kepada Gus Dur selaku Ketua Panitia Muktamar di Situbondo, untuk mengundang Ketua Mahkamah Agung, dan yang diundang datang. Strategi lainnya adalah lobi kepada hakim-hakim peradilan agama yang berasal dari NU untuk ikut menghadiri Muktamar sebagai orang NU, dengan pendekatan kepada pengurus-pengurus NU daerah, yang disetujui panitia. Keikutsertaan tersebut untuk merekomendasikan kepada pemerintah agar menyusun KHI, dan Muktamar pun merekomendasikannya. Pada kesempatan terpisah, Muhammadiyah dan yang lainnya melakukan hal yang sama.
Menurut Ismail Sunny, Proyek KHI yang merupakan kerjasama antara Menteri Agama dan Ketua Mahkamah Agung RI didorong oleh Presiden Soeharto, bahkan beliaulah yang mendanainya sebesar Rp 230.000.000,-.
Kehadiran Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) – melalui Instruksi Presiden kepada Menteri Agama, dengan Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 yang ditindaklanjuti dengan pelaksanaannya melalui Keputusan Menteri Agama RI kepada seluruh instansi Departemen Agama dan instansi Pemerintah lainnya dengan Nomor 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 untuk menyebarluaskannya dan sedapat mungkin menerapkannya di samping perundang-undangan lainnya – merupakan hukum yang ditulis dari 13 kitab hukum yang selama ini menjadi referensi utama Peradilan Agama, sebagaimana Edaran Biro Peradilan Agama Nomor B/1/735 tanggal 18 Pebruari 1958 sebagai Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957.
KHI merupakan fikih Indonesia yang disusun dalam upaya unifikasi berbagai mazhab fikih untuk penyatuan persepsi para Hakim menuju kepastian hukum. Ide penyusunan KHI muncul setelah beberapa tahun Mahkamah Agung melakukan pembinaan teknis yustisial kepada Peradilan Agama berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. Dan berdasarkan Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama (masing-masing) Nomor 07/KMA/1985, dan Nomor 25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985 tentang Tim Pelaksana Proyek Penyusunan KHI, yang hasilnya dibahas dalam Loka Karya Para Ulama dan Cendikiawan Muslim pada tanggal 2 s.d. 6 Pebruari 1988 di Jakarta.
Masa Orde Reformasi mengubah sistem organisasi Peradilan Agama dan Peradilan Umum dari tidak satu atap menjadi seatap, melalui Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 ayat (1) undang-undang tersebut. Pada tahun yang sama, disahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 172, yang diikuti pada tahun berikutnya dengan (1) PERDA Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 3 Tahun 2000, tanggal 14 Juni 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tatakerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Propinsi Daerah Istimewa Aceh, dan (2) PERDA Nomor 5 Tahun 2000, tanggal 25 Juli 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam.
Bab 1 Ketentuan Umum (Pasal 1 angka 7)PERDA Nomor 3 Tahun 2000 menyebutkan “Syariat Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan.” Sedangkan Pasal 5 ayat (2) huruf-huruf j, k, l, dan m, menyebutkan bahwa qadha, jinayat, munakahat, dan mawaris, merupakan bagian dari pelaksanaan syariat Islam yang harus dijunjung tinggi. Dan Pasal 18 ayat (1) PERDA Nomor 5 di atas menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah bersama MPU perlu merumuskan ketentuan-ketentuan berkenaan dengan pokok-pokok dan acara penyelenggaraan qadha, jinayat, munakahat, dan mawaris sejalan dengan syariat Islam, jo Pasal 125 s.d. Pasal 128 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006, dengan hukum acara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 132 undang-undang ini.
Saat ini untuk Hukum Acara Jinayat Aceh sedang dilakukan pembahasan intensif antara Mahkamah Agung Republik Indonesia, di Jakarta dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, dalam sebuah rancangan yang diberi judul “Rancangan Qanun Aceh tentang Hukum Acara Jinayat.” Tidak adanya Hukum Acara Jinayat untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan salah satu kendala dan penghambat dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan Mahkamah Syar̒iyah, dan oleh karenanya hukum acara tersebut harus diprioritaskan oleh Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam.
Pada masa ini Orde Reformasi ini pula, dan sejalan dengan perubahan namanya menjadi Provinsi Naggroe Aceh Darussalam terjadi perubahan sebutan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di Provinsi Banda Aceh,masing-masing menjadi Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi (Pasal 1 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2001 tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), dengan penambahan kewenangan sebagaimana pada Pasal 3 undang-undang dimaksud yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syi’ar Islam yang ditetapkan dalam Qanun.
Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 menyebutkan bahwa Peradilan Syari’ah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak mana pun.. Sedangkan ayat (2) pasal dan undang-undang tersebut berbunyi “Kewenangan Mahkamah Syar’iyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas syari’at Islam dalam sistem hukum nasional, yang duatur lebih lanjut dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang diberlakukan bagi pemeluk agama Islam (ayat 3).
Sehubungan dengan uraian di atas, ada beberapa Qanun untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu : (1) Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Islam, (2) Qanun Nomor 11 Tahun2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam, (3) Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Khamer (dengan uqubat(hukuman) 40 kali cambuk sebagaimana disebutkan dalam Pasal 26, (4) Qanun Nomor 13 Tahun 2002 tentang Maisir, dengan uqubat minimal 3 kali cambuk, dan maksimal 9 kali cambuk sebgaimana disebutkan dalam Pasal 23, dan (5) Qanun Nomor 14 Tahun 2002 tentang Khalwat, dengan uqubatminimal 3 kali cambuk, dan maksimal 9 kali cambuk sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22.
Selain ketiga hukum pidana khusus tersebut, sementara ini ada upaya untuk memperluas kewenangan dalam bidang hukum pidana khusus, yang saat ini masih dalam taraf pembahasan. Perluasan dimaksud mencakup: ikhtilath, zina, dan pemerkosaan, yang masing-masing memiliki ruang lingkup tersendiri. Perluasan tentang hukum pidana khusus tersebut sesuai dengan Hasil PenelitianWork-Plan Aceh Justice Resource Centre (AJRC) tentang Eksistensi Mahkamah Syar̒iyyah dalam Menjalankan Peradilan Syariat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menyebutkan antara lain mngenai sejumlah qanun pelaksanaan syariat Islam (yang) masih memerlukan perubahan karena masih menimbulkan perdebatan, seperti ketentuan tentang khalwat, yang dibatasi pada bersepi-sepi di tempat tertutup atau lebih luas lagi, dan bagaimana jika pelakunya lebih dari dua orang, serta yang sejenis. Seharusnya ketentuan hukum materil yang dibuat dapat menampung persoalan-persoalan yang sekarang ini aktual terjadi di dalam masyarakat, dan menutup peluang terjadinya bermacam penafsiran.
Selanjutnya dilakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama sehingga kewenangannya sebagaimana dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 (LNRI Tahun 2009 Nomor 159, Tambahan LNRI Nomor 5078),berbunyi sebagai berikut:
“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
a. perkimpoian;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah, dan
i. ekonomi syari’ah.
Penjelasan pasal tersebut huruf I, menyebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha untuk dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi:
a. bank syari’ah;
b. lembaga keuangan mikro syari’ah;
c. asuransi syari’ah;
d. reasuransi syari’a;h
e. reksa dana syari’ah;
f. obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
g. sekuritas syari’ah
h. pembiayaan syari’ah;
i. pegadaian syari’ah;
j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
k. bisnis syari’ah.
Setelah Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disahkan Kompetensi yang diberikan kepada Peradilan Agama untuk mengadili perkara ekonomi syari’ah masih tetap diperdebatkan, dari sisi kapabilitaskeekonomiannya, dan tidak melihat sisi kapabilitas dan kapasitas syari’ahnya, apalagi sisi penggabungan antara keduanya, ekonomi syariahnya. Perdebatan tersebut tetap berjalan dan hal itu semakin terlihat dalam pembahasan-pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perbankan Syariah, yang akhirnya disahkan pada tanggal 17 Juni 2008 dan disahkan pada tanggal 16 Juli 2008, dan diberi nama Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari'ah.
Akhirnya Dewan bersepakat bahwa Undang-undang tersebut harus memberikan kewenangankepada Peradilan Agama untuk mengadili tuntutan rakyat pencari keadilan sebagaimana tersebut pada Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, dan opsi kepada para pihak sebagaimana dimaksud oleh ayat (2) pasal dan undang-undang yang sama, dengan memperhatikan dan mengingat ketentuan ayat (3) pasal dan undang-undang ini.
Secara keseluruhan bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut :
(1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syari’ah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
(2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.
(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.
Penjelasan terhadap ayat (2) pasal tersebut berbunyi bahwa yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad” adalah upaya sebagai berikut :
a. musyawarah;
b. mediasi perbankan;
c. melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan /atau
d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Sedangkan yang dimaksud dengan prinsip syari’ahadalah sebagaimana disebutkan pada “Ketentuan Umum” Pasal 1 butir 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, yaitu prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syari’ah. Dan kehadiran Undang-Undangt Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama serta Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah diperkuat dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (disingkat KHES), yang dikeluarkan pada tanggal 10 September 2008. Perma tersebut – selain menjadi pedoman bagi Hakim Pengadilan (Agama) (Pasal 1 ayat (1), tidak mengurangi tanggung jawab hakim untuk menggali dan menemukan hukum untuk menjamin putusan yang adil dan benar. (Pasal 1 ayat (2)).
Pasal 1 ayat (2) di atas berpedoman pada Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, serta penjelasannya yang berbunyi “Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Dan menurut penyusun, penemuan hukum dimaksud adalah hukum materil, sedangkan hukum acaranya tetap mengacu kepada Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kecuali yang diatur secara khusus.
Dua hal sebelum terakhir di atas merupakan sesuatu yang penting bagi para Hakim sebagai komponen struktural sebagaimana dikatakan oleh Lawrence M. Friedman sehingga kualitas sumber daya para Hakim perlu ditingkatkan agar terjadi keseimbangan antara ilmu dan pengalamannya. Sedangkan hal terakhirnya – sebagaimana bunyi Pasal 1 ayat (2) – didasarkan pada salah satu bagian dari ayat 58 surat al-Nisa, dan salah satu dari 3 kelompok / golongan Hakim sebagaimana tersurat dalam hadis Nabi SAW.
source : http://nurmanali.blogspot.com/
R. Tresna menyebutkan bahwa dalam tingkatan permulaan manusia hidup bergaul, segala perselisihan yang timbul karena pertentangan kepentingan, diselesaikan dengan mengambil tindakan sendiri, atau manusia bertindak sebagai hakim sendiri. Setelah lingkungan pergaulan hidup semakin teratur dan manusia sudah membiasakan diri hidup di dalam batas-batas tempat kediaman yang tertentu serta berpedoman pada tata-cara yang dianggap baik menurut keyakinan bersama. Oleh karena itulah nafsu untuk bertindak menjadi hakim sendiri dipandangnya tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat. Dan kepala suku, kampung, desa, atau apa juga namanya sesuatu kesatuan hukum, yang merupakan bingkaian di dalam pergaulan hidup manusia di sesuatu daerah tertentu.
Menurut penulis, apa yang dikemukakan oleh Tresna di atas menggambarkan adanya suatu wilayah yurisdiksi, prosedur, dan hukum materil yang digunakannya. Wilayah yurisdiksi ditunjukkan oleh bagian kalimat “di dalam batas-batas tempat kediaman tertentu.” Prosedur ditunjukkan oleh bagian kalimat “berpedoman pada tata cara yang dianggap baik,” dan hukum materil yang digunakannya diwakili oleh bagian kalimat “menurut keyakinan mereka.”
Tresna menyebutkan salah satu sumber yang mengatakan bahwa menurut prasasti finscriptie pada batu dinding dari candi-candi di zaman Airlangga, peradilan pada zaman itu dipegang oleh raja sendiri, dan hukuman badan hanya dijatuhkan oleh raja dan kepada perampok dan pencuri. Akan tetapi, menjadi kenyataan pula, peradilan di zaman kuno dilakukan pula oleh pejabat-pejabat tertentu. Bahkan, di dalam kesatuan-kesatuan hukum wilayah kerajaan, kepala kesatuan menjalankan juga peradilan atas dasar hukum adat, dan hal tersebut bukan hanya terjadi di Pulau Jawa, melainkan juga di luar Pulau Jawa, seperti Mataram. Lebih jauh lagi, Tresna menyebutkan beberapa hasil penelitian ahli-ahli bangsa Belanda tentang adanya pemisahan peradilan seperti peradilan pradata dan peradilan padu. Yang pertama, khusus untuk perkara-perkara yang menjadi urusan peradilan raja. Yang kedua, untuk perkara-perkara yang tidak menjadi urusan peradilan raja.
Menurutnya pula, apabila dilihat dari sudut asalnya, hukum pradata itu bersumber pada hukum Hindu, sedangkan hukum padu berasal dari hukum Indonesia asli. Perbedaan keduanya bukan saja pada sumber asalnya melainkan juga pada lingkungan keberlakuannya. Selain itu, hukum pradata terdapat pada kiutab hukum, sedangkan hukum padu terdapat pada hukum yang tidak tertulis. Akan tetapi, pemisahan tersebut tidaklah berarti pemisahan hukum pradata dan hukum paduidentik dengan pemisahan dalam sistem Barat yang memisahkan antara hukum publik dan hukum privat, tetapi pemisahan dalam hukum adat tidak seperti pemisahan dalam sistem Barat.
Uraian di atas menunjukkan masuknya peradaban Hindu ke Indonesia membawa pengaruh juga ke dalam tata hukum Indonesia sekalipun tidak meresap ke bawah, serta membiarkan saja perkembangan hukum asli di tangan rakyat tanpa ada niat atau hasrat untuk mempengaruhi jalannya pertumbuhan hukum asli itu.
Tata hukum Indonesia kembali mengalami perubahan setelah agama Islam masuk ke Indonesia. Hukum Islam – pada akhirnya – tidak saja menggantikan hukum Hindu, yang berwujud di dalam hukum pradata tetapi juga berusaha memasukkan pengaruhnya ke dalam masyarakat di dalam segala hidupnya. Meskipun hukum asli tidak diasingkan sama sekali, pengaruh hukum Islam dalam beberapa segi kehidupan rakyat telah mengambil kedudukan yang tetap bagi penganut-penganut agama Islam, terutama di dalam hukum keluarga.
Salah satu pengaruh kedatangan agama Islam terhadap hukum asli, yang ditunjukkan oleh Tresna adalah yang terjadi di Mataram, yaitu perubahan yang pertama kali terjadi di dalam tata hukum di bawah pengaruh Islam, yang dilakukan oleh Sultan Agung, dalam pengadilan pradata, yang dipimpin raja sendiri. Perubahan terjadi pada namanya menjadi pengadilan Surambi,dan tempatnya di serambi mesjid Agung, tidak lagi di Sitinggil. Sedangkan perkara-perkara kejahatannya disebut kisas.Pimpinan pengadilan pun mengalami perubahan, dari tangan raja ke tangan penghulu, yang dibantu beberapa ulama sebagai anggota.
Tresna menyebutkan pula bahwa perubahan yang dilakukan di Mataram, dilakukan pula di Priangan. Menurut laporan Joan Frederik Gobius (Residen di Cirebon tahun 1714-1717) sebagaimana dikutip Tresna, tata usaha Pengadilan di Priangan diatur menurut tata usaha Pengadilan di Mataram, karena Bupati-bupati di Priangan setelah takluk kepada Mataram, dibiarkan tetap menjalankan pemerintahan dan peradilan khusus perkara-perkara padu, sedangkan perkara-perkara pradatadikirimkan ke Mataram. Akan tetapi, karena Priangan jauh dari Mataram, kekuasaan Mataram tidak begitu dirasakan di Priangan, apalagi para Bupati tepat mengirimkan upetinya ke Mataram dan pada waktu yang ditentukan datang menghadap ke Mataram untuk membuktikan kesetiaannya. Oleh karena itu mereka dapat berbuat sekehendaknya di daerah-daerahnya seperti belum ditaklukkan. Akibatnya, banyak perkara yang diselesaikan di masing-masing kabupaten, tidak dikirimkan ke Mataram. Keadaan serupa itu lebih tampak ketika kekuasaan Mataram merosot setelah Sultan Agung dan Amangkurat I wafat.Pada waktu Kumpeni mengadakan penyelidikan tentang keadilan peradilan di tanah Priangan, didapati ada 3 (tiga) macam pengadilan: 1) Pengadilan Agama, 2) Pengadilan Drigama, dan 3) Pengadilan Cilaga.
Pengadilan Agama mengadili perkara atas dasar hukum Islam dan berpedoman kepada rukun-rukun yang ditetapkan oleh para penghulu. Kekuasaan Pengadilan Agama mencakup perkara-perkara mengenai hukuman badan atau hukuman mati, yang sebelumnya termasuk perkara pradata dan diadili di Mataram. Pengadilan Agama berwenang pula mengadili perkara perkimpoian dan waris. Pengadilan Drigama mengadili perkara-perkara yang tidak termasuk wewenang Pengadilan Agama sebagaimana tersebut di atas. Pengadilan ini bekerja dengan memakai hukum Jawa Kuno yang disesuaikan dengan hukum Adat setempat. Pengadilan Cilaga adalah semacam pengadilan wasit, yang khusus untuk orang-orang yang berniaga. Perkara-perkara yang termasuk golongan ini diurus dan diselesaikan oleh suatu badan, yang berasal dari beberapa utusan kaum berniaga.
Bagaimana halnya dengan pengadilan di Kerajaan Banten? Keterangan yang dapat dikumpulkan oleh ahli-ahli sejarah tidak cukup untuk menggambarkan dengan nyata keadaan dan pertumbuhan, maupun sejarah peradilan di Kerajaan Banten. Tresna selanjutnya mengatakan bahwa pengadilan di banten disusun menurut pengertian Islam, kecuali pada abad ke-16 hingga tahun 1600, ada pula bentukan-bentukan penagdilan yang berdasar pada hukum Hindu, karena masih di bawah kekuasaan Pakuan-Pajajaran.
Pada waktu kekuasaan Sultan Hasanudin, atau pada abad ke-17, hanya ada satu macam pengadilan, yang dipimpin oleh Kadhi, sebagai hakim tunggal. Akan tetapi, putusannya yang terkait dengan hukuman pada saat itu masih memerlukan pengesahan dari raja, dan hal tersebut merupakan pengaruh hukum Hindu.
Pada tahun 1602 di negeri Belanda didirikan perserikatan dagang buat Timur-Jauh, yang dinamakan VOC/KOMPENI (De Vereenigde Oast-Indische Compagnie). Di dalam akta pendiriannya ditetapkan beberapa hak dan kekuasaan untuk menyelamatkan tujuannya, berdagang. Selain itu, VOC/KOMPENI diberikan pula hak untuk mengangkat hakim-hakim untuk menjaga keamanan, ketertiban, dan keadilan dalam daerah kekuasaannya. Di dalam instruksi kepada Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia yang pertama tanggal 29 Nopember 1609, diperintahkan supaya Badan Pemerintah Tertinggi di Hindia itu menjadi hakim di dalam perkara pidana maupun perdata. Ketentuan di dalam Octrooi tersebut di atas (Pasal 35) yang memberikan kekuasaan untuk mengangkat hakim-hakim, merupakan dasar kekuasaan hukum dari pengadilan yang kemudian didirikan oleh VOC/KOMPENI di daerahnya.
Pada tanggal 24 Juni 1620 dikeluarkan resolusi yang membentuk suatu majelis pengadilan di bawah pimpinan Baljuw,yang bernama College van Schepenen. College tersebut diserahi pula urusan pemerintahan dan kepolisian di dalam kota. Sebagai badan pengadilan, majelis ini diberi nama Schepenbank, yang merupakan badan pengadilan untuk segala penduduk kota yang merdeka (bukan budak) dari bangsa apa pun, kecuali pegawaipegawai VOC/KOMPENI dan serdau-serdadunya.Schepenbank mula-mula hanya mengadili perkara-perkara sipil saja, tetapi lama-kelamaan ditugaskan untuk mengadili perkara-perkara kriminal.
Pada tanggal 4 Maret 1621 pengurus VOC/KOMPENI di Belanda telah mengeluarkan instruksi yang menetapkan bahwa di daerah yang dikuasai VOC/KOMPENI harus diberlakukan hukum sipil Belanda, di antaranya dalam hukum waris, tetapi pemerintah kolonial tidak dapat melaksanakan instruksi tersebut karena sulit menerapkannya. Oleh karena itu, di dalam Statuten van Batavia yang dikeluarkan pada tahun 1642 ditentukan bahwa untuk pewarisan orang Kristen, orang Tionghoa, orang-orang yang beragama Kuno, dan orang Islam, tetap dilakukan kebiasaan dan adat terkait yang mereka terapkan.
Susuhunan Amangkurat I yang menggantikan Sultan Agung dalam tahun 1645, tidak begitu suka kepada pemuka-pemuka Islam, dan karenanya ia berusaha mengurangi pengaruh alim ulama di dalam pengadilan, dengan pengembilalihan kembali tapuk pimpinan pengadilan ke tangannya sehingga PengadilanPradata dihidupkan kembali. Tahun 1677 adalah titik permulaan jatuhnya kekuasaan Mataram sebagai negara yang berdaulat penuh, yang akhirnya berlanjut dengan terpecahnya Mataram menjadi Yogyakarta dan Surakarta. Hal tersebut berakibat Kumpeni lebih jauh lagi mencampuri urusan peradilan di kedua negara itu.
Pada tahun itu pula Amangkurat I menyerahkan sebagian daerahnya ke Jawa barat, yaitu yang berada di sebelah barat Pamanukan, terus ke Selatan menurut garis lurus sehingga kekuasaan VOC/KOMPENI semakin meluas di luar kota Jakarta. Lalu pada tanggal 31 Mei 1686 dikeluarkannya pula resolusi yang menetapkan kekuasaan hukum badan-badan pengadilan Belanda di kota Jakarta meliputi juga Priangan Tengah (Kabupaten Bandung, Sumedang, dan Parakanmuncang), tetapi hukum Belanda pun tidak dapat dilaksanakan di Priangan Tengah, sehingga pengadilan-pengadilan asli dibiarkan berjalan.
Sejak perjanjian de Hartogh dalam tahun 1688, pengadilan di Cirebon hingga tahun 1806 tidak banyak mengalami perubahan. Dasar perjanjian tersebut adalah perjanjian sebelumnya yang dibuat oleh Tak tetapi tidak dikuatkan oleh Kompeni. Perjanjian dimaksud menjadi cermin keadaan pengadilan di Cirebon pada waktu itu, yang mugnkin sama dengan keadaan ketika Cirebon belum ditaklukkan Mataram pada tahun 1650.
Pada tahun 1705 Priangan Timur jatuh ke tangan VOC/Kompeni sehingga sejak saat itu seluruh Priangan termasuk Cirebon, berada di bawah pemerintahan Kompeni. Namun, karena mengalami kesulitan dalam mengatur pemerintahan yang langsung di bawah pemilikan Kompeni, maka pemilikan atas pemerintahan daerah Priangan diserahkan kepada Pangeran Aria Cirebon. Dan untuk menjalankan pemerintahan itu, Aria Cirebon diberikan pedoman yang terdapat dalam instruksi tanggal 22 Maret 1706, yang menetapkan bahwa para Bupati di Priangan tetap melakukan peradilan di masing-masing daerahnya, tetapi mereka tidak berhak mengadili orang-orang yang bukan penduduk daerahnya dan tidak termasuk rakyatnya. Akan tetapi, pada tanggal 12 Desember 1708 ada resolusi untuk seluruh Priangan, yang ditujukan kepada para Bupati dan pegawai-pegawainya, yang isinya “tetap mengadili rakyatnya golongan Bumiputera, baik dalam perkara sipil maupun perkara kriminal, serta golongan Bumiputera yang merantau, dan melakukan kejahatan di daerahnya. Ketentuan yang termuat dalam resolusi di atas bertentangan dengan instruksi sebelumnya, dan menimbulkan pertentangan pula dalam penerapannya, sebagaimana yang terjadi pada kasus pembunuhan yang dilakukan oleh orang Cirebon di daerah Priangan. Menurut instruksi tahun 1706 dimaksud, pembunuh tersebut harus diserahkan ke Cirebon, tetapi Bupati Priangan mengadilinya di daerahnya berdasarkan resolusi 12 Desember 1708.
Adanya pertentangan dalam aturan hukum dan dalam penerapannya itu mengilhami lahirnya resolusi baru pada tanggal 8 April 1712, yang pada hakekatnya mengulangi isi resolusi 12 Desember 1708. Isi resolusi 8 April 1712 berbunyi “Bupati-bupati dengan pegawainya harus memutus perkara menurut hukum Jawa, dengan tidak perlu mengirimkan orang-orang yang menjalankan kejahatan ke Cirebon, tetapi cukup memberitahukannya ke Residen Cirebon dan Pangeran Aria Cirebon.
Selanjutnya Tresna menyebutkan bahwa dalam tahun 1758 Mr. F.C. Hasselaar, yang menjadi Residen di Cirebon dari tahun 1757 hingga 1765, telah membuat kitab hukum yang disebut Pepakem Cirebon, yang membawa perubahan dalam tata pengadilan di Cirebon. Kitab-kitab Hukum tersebut merupakan kompilasi dari ketentuan-ketentuan hukum Hindu, yang – seiring dengan perjalanan waktu – telah mengalami perubahan. Pengaruh Islam telah nampak ke dalam isi Pepakemkarena di dalamnya menyebutkan adanya Pengadilan Penghulu, sedangkan pengaruh Barat belum nampak di dalam penyimpangan-penyimpangan dari sumber-sumber di atas. Dan dengan lebih menekankan kepada susunannya daripada tugasnya, orang menyebut Pengadilan Penghulu dengan Pengadilan Agama padahal Pengadilan Penghulu itu terutama untuk mengadili perkara-perkara yang tidak ada hubungannya dengan urusan agama.
Sumber lain menyebutkan bahwa sebelum Islam datang ke Indonesia, di kepulauan Nusantara sudah ada peradaban dan kebudayaan, serta kerajaan yaitu Kerajaan-kerajaan : Sriwijaya, Tarumanegara, Kutai, Kedah, Mataram, Kediri, Singasari, Majapahit, Ternate, Tidore. Dan para ahli sejarah telah mengemukakan berbagai pendapat tentang abad kedatangan Islam ke Indonesia, yaitu : abad ke-7 (abad ke-1 Hijriah, abad ke-10 (abad ke-4 Hijriah), dan abad ke-13 (abad ke-7 Hijriah).
Pendapat-pendapat di atas didasarkan pada :
1. kedatangan orang Islam ke Sumatera pada tahun 650 H., yang berbetulan dengan masa Pemerintahan Khalifah Usman bin Affan.
2. makam seorang wanita Islam di Gresik yang bernama Fatimahbinti Maimun bin Hibatallah, berangka tahun 475/495 H. (1082/1102 M.).
3. keberadaan pedagang-pedagang Islam di tanah Jawa sebelum Raja kediri terakhir, Kertajaya (1200-1222), tetapi belum mendapatkan perhatian para ahli sejarah karena rajanya masih beragama Hindu dan Budha, dan keberadaan muslim di Perlak, Aceh pada tahun 1292, serta keber-Islam-an Raja Sumatera Utara, al-Malik al-Salih. Menurut Suparman Usman, data di atas menunjukkan bahwa Islam datang ke kepulauan Nusantara jauh sebelum penjajah Belanda datang ke Indonesia, sekitar abad ke-15. Menurut penyusun, dengan memperhatikan kedatangan VOC/KOMPENI pada tahun 1596, abad yang tepat Belanda datang ke Indoensia adalah abad ke-16.
Orang-orang Belanda datang ke Indonesia (Banten) untuk memburu rempah-rempah yang laku di pasaran Eropa. Mereka bergabung dengan Portugis, Inggeris, dan Spanyol. Menurut Bushar Muhammad, sewaktu datang Beladan mengira di Indonesia belum ada hukum, tetapi ternyata sudah ada, yang sesuai dengan agamanya, yaitu Islam, Hindu, dan Nasrani, di samping hukum Adat. Dan hukum Islam telah menjadi hukum yang ditaati oleh umat Islam Indonesia bahkan sudah menjadi hukum nasional pada Kerajaan Islam Mataram (1613-1645) di bawah Sultan Agung.
Secara global sejarah perkembangan lembaga Peradilan Agama di Indonesia dapat dilihat pada dua periode , yaitu periode sebelum proklamasi dan periode sesudahnya. Periodesebelum proklamasi terbagi kepada masa kerajaan, masa pra kolonial, dan masa kolonial. Sedangkan periode proklamasiterbagi kepada masa Orde Lama, masa Orde Baru, dan masa Orde Reformasi.
Peradilan Agama sebelum Proklamasi
Achmad Rosetandi menyebutkan bahwa Pengadilan Agama sesungguhnya telah dijumpai kira-kira abad keenambelas, yaitu pada zaman pemerintahan raja-raja yang memeluk agama Islam di Indonesia. Hakim (Pengadilan, penyusun) Agama saat itu diangkat oleh Sultan atau raja. Jabatan tersebut tidak terpisahkan dari pemerintahan umum lainnya. Pengadilan Agama ini diselenggarakan oleh penghulu, yaitu pejabat administrasi kemesjidan setempat. Pada masa itu tidak ada pengadilan resmi lain yang melayani rakyat, selain Pengadilan Agama, yang persidangannya berlangsung di serambi mesjid.
Pada abad XVI (1596 M) VOC/KOMPENI (organisasi perusahaan dagang Belanda) merapat di Pelabuhan Banten, Jawa Barat, untuk berdagang, tetapi ternyata organisasi tersebut mempunyai fungsi lain yaitu sebagai badan pemerintahan. Dalam menjalankan fungsi terakhirnya ini, VOC/KOMPENI menggunakan hukum Belanda pada daerah-daerah yang dikuasainya, dan secara perlahan badan-badan peradilan pun dibentuknya pula, tidak terkecuali peradilan agama. Namun, badan-badan peradilan yang dibentuk VOC/KOMPENI tidak efektif karena hukum yang diterapkannya bukan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, melainkan hukum yang dibawanya dari Belanda. Oleh karena itu, pada tahun 1642, kewarisan bagi orang Islam Indonesia didasarkan pada hukum waris Islam.
Karena badan-badan peradilan yang dibentuknya tidak efektif maka VOC/KOMPENI meminta D.W. Freijer untuk menyusun “Compendium yang memuat hukum perkimpoian dan hukum kewarisan Islam”, yang selanjutnya hasil kerjanya itu disempurnakan oleh para penghulu dan ulama Islam pada saat itu, lalu digunakan oleh lembaga-lembaga peradilan dalam menyelesaikan sengketa yang diajukan kepadanya. Bahkan Lodwijk Willem Christian van den Berg berpendapat bahwa hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Menurutnya, orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai kesatuan. Pendapat van den Berg ini dikenal dengan teori receptio in complexu. Selain Berg, Mr. Scholten van Oud Haarlem menulis sebuah nota kepada pemerintahan Hindia Belanda yang isinya antara lain “Untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan seperti perlawanan bumiputera jika agamanya dilanggar, maka harus dibiarkan mereka tetap menerapkan hukum agama dan adat istiadat mereka. Menurut penyusun, peraturan-peraturan tersebut di atas bertujuan menghindari meluasnya resistensi dan perlawanan umat Islam terhadap Belanda dan kepentingannya.
Pada tahun 1808 dikeluarkan instruksi Pemerintah Hindia Belanda kepada para Bupati, yang isinya “Terhadap (1) urusan-urusan agama orang Jawa tidak akan dilakukan gangguan-gangguan, (2) pemuka-pemuka agama dibiarkan untuk memutuskan perkara-perkara tertentu dalam bidang perkimpoian dan kewarisan dengan syarat tidak akan ada penyalahgunaan.
Pada tahun 1820, melalui instruksi kepada para Bupati (Pasal 13 Regenten Instructie) yang berbunyi antara lain “Bahwa perselisihan mengenai pembagian waris di kalangan rakyat hendaknya diserahkan kepada para alim ulama Islam.”
Suparman Usman menyebutkan bahwa pada tahun 1823 Gubernur Jenderal (Belanda) mengeluarkan resolusi No. 12 Tahun 1823 tanggal 3 Juni 1823 tentang peresmian Pengadilan Agama Palembang. Penyusun tidak mendaptkan tersebut dari sumber lainnya padahal Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tidak mengecualikan Kota Palembang dari peraturan tersebut.
Selanjutnya Pemerintah Belanda mengeluarkan Stb.1835 No. 58 yang di dalamnya dinyatakan tentang wewenang Peradilan Agama di Jawa dan Madura untuk memutuskan perselisihan tentang perkara perkimpoian dan pembagian harta benda dan sebagainya yang harus diputuskan menurut hukum syara’ Islam, maka yang harus menjatuhkan keputusan dalam hal itu hendaknya betul-betul ahli agama Islam. Akan tetapi segala persengketaan dari hal pembagian harta benda atau pembayaran yang terjadi karena keputusan itu harus dibawa ke muka pengadilan biasa. Pengadilan itulah yang akan menyelesaikan perkara itu dengan mengingat keputusan ahli agama dan supaya keputusan itu dijalankan.
Selain itu, disebutkan dalam Pasal 78 RR(Regeering Reglement) 1854 yang dimuat dalam Stb. 1855 No. 2 tentang batas-batas kewenangan Pengadilan Agama, yaitu : (a) Pengadilan Agama tidak berwenang dalam perkara pidana, dan (b) Apabila menurut hukum-hukum agama dan adat-adat lama perkara itu harus diputuskan oleh penghulu/pemuka agama atau peradilan agama. Terhadap Pasal 78 huruf a RR tersebut, penyusun dapat memahaminya karena hukum pidana merupakan hukum publik, sekalipun keberlakuannya dapat dikhususnya untuk umat Islam. Dan Pasal 75 RR memberikan instruksi kepada pengadilan agar tetap mempergunakan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan-kebiasaan itu sejauh tidak bertentangan dengan kepatutan dan keadilan yang diakui umum karena – menurut penyusun – hukum agama merupakan hukum yang hidup dan berkembang pada masa pemerintahan penjajah Belanda.
Pendapat van den Berg dan Paul Scolthen itulah yang mendorong lahirnya Stb. 1882 Nomor 152. Akan tetapi, Staatsblad tersebut belum menentukan secara jelas bidang kewenangan Peradilan Agama. Peradilan Agama sendiri yang menentukan kewenangannya yang menyangkut hukum perkimpoian dan hukum kewarisan, sebagai kelanjutan dari praktek peradilan dalam masyarakat bumiputera muslim yang berlangsung sejak zaman VOC/KOMPENI dan kerajaan-kerajaan Islam sebelumnya.Hal tersebut merupakan pengakuan dan pengukuhan resmi terhadap sesuatu yang telah ada dalam masyarakat, dan masih berjalan ± 2 abad setelah kedatangan VOC/KOMPENI dan awal-awal masa pemerintahan Kolonial, yang akhirnya dicoba untuk dihapuskan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Keadaan yang demikian berimplikasi pada lembaga peradilan pemerintahan Hindia Belanda (Indonesia sebelum merdeka) yang mempunyai lingkungan dan susunan serta lingkup kekuasaan yang berbeda-beda, yaitu :
a. Lingkungan Peradilan Pemerintah (Gouvernements-Rechtspraak.)
b. Lingkungan Peradilan Agama
c. Lingkungan Peradilan Swapraja
d. Lingkungan Peradilan Adat
e. Lingkungan Peradilan Desa
f. Lingkungan Peradilan Khusus.
Organisasi pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama pertama kali dibentuk pada tanggal 19 Januari 1882 oleh Raja Belanda dalam sebuah keputusan No. 24 yaituStaatsblad 1882 Nomor 152 tentang Pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Staatsbladtersebut tidak menyebutkan kewenangan Pengadilan Agama, sehingga kewenangannya dikembalikan kepada Stb. 1835 No. 58. Staatsblaad ini merupakan reorganisasi terhadap Pengadilan Agama, yang memberikan landasan dasar bagi otonomi yang lebih luas dan tumbuhnya pandangan yang lebih luas di kalangan pejabat agama sendiri. Menurut Dainel S. Lev, reorganisasi ini telah melahirkan 2 (dua) landasan penting yang berkembang secara perlahan-lahan, yaitu: tumbuhnya spesialisasi dalam pelaksanaan tugas Pengadilan Agama dan terbentuknya pengawasan nasional.
Sekalipun dibentuk oleh pemerintah, Pengadilan Agama tidak memperoleh kedudukan yang sama dengan Pengadilan Negeri, kecuali ketuanya saja yang mendapat tunjangan tetap karena berkedudukan pula sebagai PenghuluLandraad.
Pada tahun 1909 Pemerintah mengeluarkan Stb.1926 No. 128 dan pada tahun 1926 mengeluarkan Stb.1926 No. 232, yang mengubah pelaksanaan Stb. 1882 No. 152, dan hal itu menimbulkan kekecewaan di kalangan ahli hukum dan umat Islam. Di samping itu, keadaan demikian membangkitkan semangat usaha untuk melakukan perubahan, dan pada tahun 1931 – dengan Organisasi(Ordonansi, pen.) tanggal 31 Januari 1931– dalam Stb.1931 No. 53 ditetapkan Peraturan tentang 3 Pokok Ketentuan, yaitu : 1) Perubahan Raad Agama menjadi Penghulu Gerecht yang terdiri dari dua penasehat dan satu panitera, 2) dengan kekuasaan pada perkara yang berkaitan dengan nikah, talak, dan rujuk. Perkara hadlanah, wakaf, dan lain-lain, dicabut dan diserahkan kepada Landraad, 3) ada tambahan acara pada Pengadilan Agama, dan 4) Pembentukan Mahkamah Islam Tinggi sebagai pengadilan banding. Menurut penyusun, bagian kedua dari angka 2) di atas dicabut karena berkaitan dengan masalah keuangan/ekonomi sehingga dikhawatirkan menjadi modal untuk menambah kekuatan dalam melawan penjajah secara fisik.
Busthanul Arifin mengatakan bahwa pemerintah kolonial Belanda dalam politik hukum selalu menangani segala bidang hukum secara concerted (direncanakan bersama). Sarjana-sarjana hukum di lingkungan perguruan tinggi membuat konsep-konsep ilmiah, dan pemerintah merekayasa hasil-hasil karya ilmiah itu untuk kepentingan politik hukum. Segala peraturan hukum tentang peradilan agama itu adalah hasil rekayasa brilian di bidang hukum, khususnya di bidang peradilan. Rekayasa ilmiah di bidang hukum ini semua ditujukan untuk mengeliminasi hukum Islam yang menjadi kesadaran hukum rakyat Indonesia, dan yang di mata kolonial dianggap menjadi penghalang kolonialisme dan imprealisme. Rekayasa ilmiah hukum meliputi (1) ide unifikasi hukum, (2) penemuan hukum adat, dan (3) membuat citra palsu tentang peradilan agama.
Rekayasa ilmiah tersebut dilaksanakan oleh penguasa waktu itu dengan hati-hati dan bertahap. Pengadilan Agama tidak dihapuskan sama sekali tetapi citranya dirusak, diberikan citra palsu. Dan akibatnya, jadilah Pengadilan Agama seperti yang diwarisi sekarang ini (1996, pen), yang hidup segan mati tak mau, peradilan yang merupakan quasi pengadilan, pengadilan yang tanpa kekuasaan nyata, dan karenanya tanpa wibawa, dan hal itu demikian tertanam sehingga peradilan agama diletakkan di luar kehakiman, judiciary.
Stb. 1937 No. 116 yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal dengan Keputusan No. 9 tanggal 19 Pebruari 1937, dan mulai berlaku 1 April 1937, merupakan penambahan beberapa pasal dalam Stb. 1882 No. 152, yang sekaligus mempersempit kewenangan Pengadilan Agama, karena di samping perkara hadalnah, wakaf, dan lain-lain, hal-hal yang berkaitan dengan tuntutan pembayaran uang atau penyerahan harta benda yang berhubungan dengan perkara nikah, talak, dan rujuk pun ikut dicabut pula. Dan mulai 1 Januari 1938 – berdasarkan Stb. 1937 No. 610 – diadakan sebuah Mahkamah Islam Tinggi (Hof Voor Islamietische Zaken) dengan aturan pelaksanaannya berupa penambahan atas Pasal 7 Stb. 1882 No. 152, yaitu dari Pasal 7 b sampai dengan 7 m. Akan tetapi semua protes masyarakat tidak diperhatikan sehinga Stb. 1882 No. 152 dengan segala perubahannya tetap berlaku di Jawa dan Madura. Menurut Achmad Roestandi, penggerak di belakang usaha-usaha perubahan terhadap wewenang Pengadilan Agama melalui Staatsblaad 1937 No. 116 adalah pendukung hukum adat yang dipelopori oleh ter Haar. Mereka berdalih bahwa dalam kenyataannya pengaruh Islam tidak mendalam pada aturan-aturan kewarisan dalam keluarga di Jawa dan di tempat-tempat lain di Indonesia.Pengaruh-pengaruh itulah yang mengakibatkan wewenang Pengadilan Agama dalam bidang waris diserahkan kepada Pengadilan Negeri.
Pemerintah Hindia Belanda mendirikan pula Pengadilan Agama di Kalimantan Selatan dan Timur melaluiStb. 1937 No. 638 dan 639, dengan sebutan Kerapatan Qadli (untuk tingkat pertama) dan Kerapatan Qadli Besar (untuk tingkat banding), dengan kompetensinya sebagaimana pada Pasal 3 Stb. Tersebut di atas yang pada dasarnya sama dengan bunyi Pasal 2a Stb. 1882 No. 152 di atas.
Menurut Bustanul Arifin, dari sisi sejarah peradilan agama di Indonesia telah pernah dicoba untuk dihapuskan oleh politik hukum kolonial dengan konsep-konsep hukum sekuler demi kepentingan politik kolonial mereka tetapi gagal, walaupun berhasil membuat peradilan agama menjadi kerempeng dan sebagai alat adu domba antara golongan-golongan agama di Indonesia. Achmad Roestandi menyebutkan pula bahwa perkembangan kewenangan Pengadilan Agama mengalami pasang surut. Ada yang sesuaidengan nilai-nilai Islam dan kenyataan yang hidup di masyarakat, dan ada pula yang dibatasi oleh kebijakan-kebijakan dan peraturan perundang-undangan.
Pada masa pendudukan Jepang, semua peraturan perundang-undangan yang ada sebelumnya dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum Pemerintahan Dai Nippon. Dan pada masa ini lembaga Peradilan Agama tetap dipertahankan dengan perubahan nama menjadi "“Coorio Hooin”, dan Mahkamah Islam Tinggi (sekarang PTA) berubah menjadi"Kaikoo Kootoo” yang didasarkan pada Pasal 3 Aturan Peralihan Bala Tentara Jepang (Osamu Seizu) pada tanggal 7 Maret 1942.
Peradilan Agama sesudah Proklamasi
Proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan pengesahan keberlakuan UUD 1945 sebagai konstitusi negara Republik Indonesia menghapus konstitusi pemerintah Hindia Belanda yang terdapat dalam Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie (yang disingkat IS), dan hal tersebut mengakibatkan teori Receptie kehilangan dasar hukumnya sehingga menjadi teori Receptie Exit.
Setelah kemerdekaan Indonesia keberlakuan hukum Islam dalam ketatanegaraan Indonesia berpijak pada landasan filosofis Pancasila dan landasan yuridis UUD 1945, khususnya Pasal 29.
Satu tahun setelah Indonesia merdeka, yang selanjutnya menjadi bagian dari masa Orde Lama,pembinaan Peradilan Agama dipindahkan dari Kementerian Kehakiman kepada Kementerian Agama melalui Peraturan Pemerintah No. 5/SD/1946, yang menyebabkan semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dipindahkan dari Kementrian Kehakiman kepada Kementrian Agama. Lalu berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948, Peradilan Agama dimasukkan ke Peradilan Umum. Namun – menurut Hadari Djenawi Taher – karena tidak sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia, undang-undang tersebut tidak pernah dinyatakan berlaku. Menurut penyusun, pembuat undang-undang tidak belajar dari sejarah pada masa penjajahan Belanda terhadap bangsa Indonesia yang menyebabkan timbulnya resistensi dan penolakan umat Islam Indonesia.
Pada perkembangan selanjutnya, berdasarkan Undang-Undang Darurat (UUDr) Nomor 1 Tahun 1951, Pemerintah menegaskan pendiriannya untuk tetap mempertahankan Peradilan Agama, menghapus Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat. Undang-Undang Darurat di atas merupakan usaha kedua, yang mengarah pada penghapusan Pengadilan Agama. Usaha sebelumnya untuk menghapuskan Pengadilan Agama telah dilakukan pula melalui undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 19 tahun 1948. Usaha tersebut sebaliknya menimbulkan minat untuk lebih memperhatikan Pengadilan Agama.
Pada tahun 1952 di samping Urusan Agama, Pendidikan, dan Penerangan, dibentuk pula Biro Peradilan Agama, yang kemudian berubah menjadi Direktorat Peradilan Agama. Biro itulah yang mengusahakan pembentukan Pengadilan-pengadilan Agama di luar Jawa dan Madura, berusaha mempertahankannya dari serangan-serangan, dan melakukan hal-hal lain yang diperlukan untuk mengurusi pelaksanaan peradilan. Dengan adanya Biro ini, Pengadilan Agama memperoleh perlindungan yang lebih kuat sebagai aparat penegak hukum nasional.
Sebagai pelaksanaan Undang-Undang Darurat di atas, pada tahun 1957 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Peradilan Agama di luar Jawa – Madura dan Kalimantan Selatan – Timur, dengan kompetensi sebagai berikut:
“Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan perselisihan antara suami-isteri yang beragama Islam, dan perkara yang menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum agama Islam, yang berkenaan dengan nikah, talak, rujuk, fasakh, nafkah, maskimpoi, tempat kediaman (maskan), mut’ah, dan sebagainya, hadlanah, perkara waris-malwaris, wakaf, hibah, shadaqah, baitulmal, dan lain-lain yang berhubungan dengan itu. Demikian juga memutuskan perkara perceraian dan mengesahkan bahwa syarat ta’lik sudah berlaku.”
Ismail Suny mengatakan bahwa keberlakuan hukum Islam pada masa-masa tersebut hanya bersifat persuasive source (sumber persuasif), yaitu keharusan yakin dan menerima). Menurut penyusun, sebagian umat Islam menginginkan dan menerapkannya sebagai wujud keimanan mereka. Hal itu berlangsung sampai dikelurkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yaitu kembali kepada UUD 1945 dan Piagam Jakarta. Menurut penyusun, dekrit Presiden 5 Juli 1959 hanya kepada UUD 1945, sedangkan Piagam Jakarta disebutkan dalam salah satu pertimbangannya.
Eksistensi Peradilan Agama pada masaOrde Baru ditunjukkan dengan kelahiran Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman memantapkan kedudukan Peradilan Agama sebagai salah satu kekuasaan kehakiman di Indonesia, dan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b dan ayat (2). Selanjutnya Pasal 12 undang-undang tersebut menyatakan bahwa “Susunan, Kekuasaan, serta Acara dari Badan-badan Peradilan tersebut dalam Pasal 10 ayat (1) diatur dalam undang-undang tersendiri.
Menurut penyusun, secara de yure Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 mendudukkan secara sejajar antara Peradilan Agama dan Peradilan Umum, dan hal tersebut diperkuat lagi dengan kelahiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkimpoian. UU Nomor 1 Tahun 1974 bukanlah berasal dari RUU Perkimpoian yang diajukan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 31 Juli 1973.
Keinginan untuk memiliki UU Perkimpoian sebenarnya sudah didambakan oleh seluruh warga masyarakat, tetapi RUU yang diajukan Presiden pada tanggal 31 Juli 1973 menuai protes dan kritik yang keras dari kalangan Islam. Setelah para anggota DPR menerima draft tersebut, dan belum sempat dibicarakan, terjadi gelombang protes di masyarakat dan di DPR sendiri.
Kalangan Islam menilai bahwa RUU Perkimpoian yang diajukan oleh pemerintah bertentangan dengan keimanan. K.H. Yusuf Hasyim, anggota DPR (saat itu) menilai bahwa RUU tersebut terang-terangan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, tetapi juga memusuhi Islam. Menurutnya, RUU baru itu memberikan perlindungan hukum dalam bidang perkimpoian kepada golongan Cina, Eropa, dan Kristen, dan memaksa umat Islam keluar dari hukum Islam. Para pengeritik menginginkan agar hukum Islam diperhatikan dalam penyusunan RUU Perkimpoian.
Gregorius Soegiharto, Ketua Fraksi Karya, menanggapi balik keinginan itu dengan mengatakan bahwa jika saja ajaran-ajaran agama masih dipegang, maka tidak akan ada kemajuan-kemajuan. Pernyataan Gregorius tersebut semakin mendidihkan suasana. Yusuf Hasyim menuduh balik pernyataan tersebut dan menganggapnya sebagai ekspresi daris eorang komunis yang memang menjadi musuh agama. HAMKA pun menulis di Harian KAMI bahwa di balik RUU Perkimpoian ada motif politik keagamaan, yang sengaja dibuat untuk memancing protes umat Islam, dan semakin memojokkannya, guna membenarkan tuduhan sebagai ekstrem kanan atau G30S. HAMKA melangkah lebih jauh pada bagian akhir tulisannya dengan mengeluarkan fatwa bahwa mengikuti RUU Perkimpoian tersebut haram, dan yang tetap melaksanakannya dihukumi kafir. Tulisan HAMKA itu semakin meningkatkan penolakan RUU Perkimpoian tersebut. Badan Kontak generasi pelajar Islam menilai RUU tersebut merusak akidah Islam dan tidak menghormati kesadaran hukum mayoritas bangsa (muslim).
Penelitian beberapa pihak tentang ketidaksesuaian RUU Perkimpoian tersebut dengan hukum Islam diperkuat oleh pernyataan akademis Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, yang menyatakan setidaknya ada 14 pasal dari RUU tersebut yang bertentangan dengan hukum Islam, yaitu Pasal-pasal: 1, 2, 3 ayat (1), (2), 4 ayat (2), 5 ayat (2), 6 huruf a dan b, 13 ayat (2). Menurut Yusuf Hasyim, setidaknya ada 13 hal yang bertentangan dengan hukum Islam, yaitu yang terdapat pada Pasal-pasal: 2 ayat (1), 3 ayat (2) 7 ayat (1) dan (2), 8, 10 ayat (2), 11 ayat (2), 12 ayat (1), 13 ayat (1) dan (2), 37 ayat (1) 39, 46 butir (c) dan (d), 49, dan Pasal 62.
Gelombang demonstrasi menentang RUU Perkimpoian terjadi hampir setiap hari dan semakin besar. Aparat keamanan mulai menangkapi para demonstran. Menteri Agama ketika hendak menyampaikan keterangan pemerintah dalam gedung Parlemen pun terpaksa diamankan oleh petugas karena gedung Parlemen praktis dikuasai oleh pemuda dan mahasiswa, sementara anggota DPR yang tidak setuju dengan RUU Perkimpoian meninggalkan sidang. Bahkan Menteri Agama dan Menteri Kehakiman, Prof. Umar Seno Aji, terpaksa dievakuasi. Dan hampir semua ulama dari berbagai daerah memberikan reaksinya sendiri-sendiri dan bersama-sama. K.H. Bisri Syamsuri menggagas sekaligus memprakarsai pertemuan ulama se-Jawa Timur, di denanyar, Jombang, pada tanggal 22 Agustus 1973, yang melahirkan kesepakatan untuk menyerukan kepada umat Islam untuk tidak mengikuti atau mentaati RUU Perkimpoian itu jika tetap diundangkan. Selain kritik, usul perubahan disampaikan pula oleh para ulama.
Secara umum ada 3 sikap yang dihasilkan dari pertemuan ulama Jawa Timur: 1) segala persoalan yang dianggap prinsip dari sisi hukum Islam, tidak ada tawar-menawar Tawar menawar (sikap) ini harus berhasil. Jika tidak, Fraksi persatuan harus menyatakan tidak menerima pengundangan RUU tersebut, 2) terhadap hal-hal yang hanya memiliki pertalian dengan prinsip hukum Islam harus diupayakan semaksimal mungkin supaya dapat diadopsi ke dalam RUU Perkimpoian tersebut, tanpa harus memboikotnya, dan 3) terhadap bentuk materi yang tidak dianggap prinsipil dari sisi hukum Islam, agar diupayakan sebisa mungkin. Hasil musyawarah tersebut disampaikan pula kepada PBNU, dan Syuriah PBNU pun mengambil sikap yang sama. Fraksi persatuan Pembangunan pun mengadopsi hasil musyawarah ulama tersebut sebagai sikap resmi Majelis Syuro PPP dan menganggapnya sebagai sikap partai.
Situasi yang semakin genting ini mengisyaratkan kepada Pemerintah bahwa kompromi adalah jalan terbaik, dan Pemerintah pun menyadari bahwa stabilitas negara sedang dipertaruhkan, serta RUU Perkimpoian tanpa amandemen hanya akan menyebabkan ketidakstabilan politik dan sosial. Kepedulian yang sama juga ditunjukkan oleh ABRI. Dalam situasi itulah, Jenderal Soemitro, Daryatmo, dan Sudomo menemui dan melakukan lobi dengan para ulama Jawa Timur. Pendekatan yang dilakukan oleh Jenderal Soemitro itu sekaligus menunjukkan adanya keterpecahan dan rivalitas di tubuh ABRI.
Partai Persatuan Pembangunan melalui utusannya (K.H. Bisri Syamsuri dan K.H. Masykur) menghadap presiden Soeharto untuk menerangkan keberatan-keberatan P3 tentang rumusan RUU tersebut. Presiden sendiri menyatakan memahami bahwa peristiwa perkimpoian tidaklah semata-mata perkara hukum, tetapi juga ibadah. Dan lobi antara ABRI dan ulama itu menghasilkan beberapa kesepakatan. Dalam catatan Ball, beberapa kesepakatan itu adalah: 1) Hukum Islam sehubungan dengan perkimpoian tidak akan dikurangi atau diubah, 2) Peran Peradilan Agama tidak akan dikurangi atau diubah, 3) Pencatatan nikah sipil tidak akan menjadi syarat sahnya nikah; perkimpoian yang dilakukan menurut ajaran agamanya dianggap mencukupi, dan 4) pengaturan-pengaturan lain diperlukan untuk mencegah talak dan poligami yang semena-mena.
Menurut penulis, dari pergulatan politik hukum dalam merumuskan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkimpoian, bila dilihat dari pembicaraan-pembicaraan/pembahasan-pembahasan dan pendapat-pendapat yang muncul saat itu merupakan hasil maksimal yang dapat dicapai, dan secara sederhana merupakan titik temu dan kompromi yang dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) yang sampai sekarang masih menjadi perbedaan penafsiran.
Sayuti Thalib mengatakan bahwa penerimaan DPR terhadap RUU tentang Perkimpoian dalam sidang plenonya tanggal 22 Desember 1973 merupakan hadiah bagi kaum ibu Indonesia. Ia mengatakan pula bahwa keberadaan RUU tersebut tidak terlepas dari tuntutan organisasi-organisasi wanita Indonesia sejak zaman penjajahan, yang hasilnya merupakan langkah pertama dalam memenuhi kehendak masyarakat Indonesia. RUU sebagaimana tersebut di atas disahkan oleh Presiden menjadi Undang-Undang pada tanggal 2 Januari 1974 (LNRI Tahun 1974 Nomor 1 dan Tambahan LNRI Nomor 3019).
Dikatakannya pula bahwa dari sudut pandang hukum Islam, Undang-Undang ini telah menolong menetapkan secara tertulis apa yang selama ini telah berkembang dalam masyarakat Indonesia dan tidak berbeda hukum Islam sendiri, walaupun perbedaan-perbedaan yang mencolok pada saat pembahasan RUU Perkimpoian, baik di dalam maupun di luar DPR, tidak dapat dihapus begitu saja. Hal penting yang patut dicatat adalah bahwa memaksakan pendapat kepada masyarakat banyak yang tidak menjadi suara hati mereka tidak dapat dilakukan di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkimpoian menampak-jelaskan kedudukan Peradilan Agama dalam sistem peradilan di Indonesia. Hanya saja putusan dan penetapan Pengadilan Agama tidak dapat dilaksanakan sebelum ada pengukuhan dari Peradilan Umum. Hal itu menunjukkan politik hukum penjajah Belanda masih memberikan pengaruh terhadap para pembuat undang-undang di negeri ini. Busthanul Arifin mengatakan pula bahwa para ahli hukum Indonesia merupakan korban dari rekayasa ilmiah hukum zaman kolonial, dan memerlukan waktu yang panjang untuk benar-benar membebaskan alam pikiran kita dari akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perekayasaan itu, walaupun proklamasi kemerdekaan Indonesia dan UUD 1945 telah memupus secara prinsipal rekayasa-rekayasa tersebut. Perekayasaan hukum secara ilmiah itu dilaksanakan dengan baik oleh rezim kolonial sehingga sampai sekarang pun (1996, tahun penerbitan buku, pen.) manusia-manusia Indonesia masih bergulat untuk melepaskan dirid ari kungkungan rekayasa itu.
Sehubungan dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, dalam upaya merealisasikan Pasal 12 undang-undang tersebut, Pemerintah telah menyiapkan Rencana (baca : Rancangan) Undang-Undang tentang Peradilan Agama. Hal ini – menurut penyusun – menunjukkan secara de facto keterlibatan Mahkamah Agung secara langsung untuk mendudukkan secara sama Peradilan Agama dan Peradilan lainnya, yang dapat dikatakan dimulai dari penyiapan RUU Peradilan Agama.
Busthanul Arifin menyebutkan bahwa lebih dari 2 dasawarsa yang lalu Prof. Mahali, S.H. (waktu itu Ketua Pengadilan Tinggi Medan dan Guru Besar USU), membuat kertas kerja berjudul “Beberapa Catatan tentang Peradilan Agama” yang di dalamnya disebutkan tentang beberapa peraturan resmi (termasuk instruksi-instruksi bagi para bupati) yang menyangkut peradilan agama di daerah-daerah seluruh Indonesia, dan ia menemukannya sejak tahun 1808, lalu ditelusurinya sesudah masa itu serta membaginya menjadi sebelum RR 1854 dan sesudahnya, hingga tahun 1882 dengan Stb. 1882 No. 152 yang terkenal, lalu diubah dengan Stb. 1931 yang tidak sempat berlaku – karena anggaran belanja negara tidak mengizinkan – kecuali tentang pengurangan kewenangan Pengadilan Agama dalam hal kewarisan, yang dialihkan ke Pengadilan Negeri.
Prof. Mahali menyinggung pula secara sepintas tentang Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957, yang dianggapnya sekedar mengisi kekosongan peraturan peradilan agama di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan. Lalu, dalam kesimpulannya, beliau mengharapkan agar peradilan agama diatur dengan undang-undang tersendiri.
Setelah berjalan sekitar 15 tahun sesudah kelahiran Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkimpoian, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-undang Peradilan Agama yang – setelah diundangkan pada tanggal 29 Desember 1989 – diberi nama dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang tersebut memperkokoh kedudukan dan susunan Peradilan Agama karena untuk melaksanakan putusan dan penetapannya tidak memerlukan pengukuhan Peradilan Umum.
Pemerintah Orde Baru yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 telah merealisasikan kebenaran sejarah bahwa golongan Islam membutuhkan suatu peradilan agama yang baik dan kompeten serta berwibawa bagi aparat kehakiman menurut Pasal 24 UUD 1945.
Sebelum RUU Peradilan Agama disahkan, tepatnya pada dekade 80-an, terjadi perubahan drastis dalam bidang sosial, agama, dan khususnya politik. Umat Islam – dalam menyalurkan aspirasi politiknya – tidak lagi terjebak pada bentuk-bentuk formalisme dengan kecenderungan eksklusivitas yang tinggi seperti tuntutan berdirinya negara Islam, tetapi lebih substantif dan integratif, lebih mengarah pada sikap-sikap inklusif, dan menghindarkan diri dari pemisahan-pemisahan kategoris yang kaku. Menurut catatan Bahtiar Effendy, tujuan tertinggi dari perubahan orientasi politik demikian itu adalah terbentuknya hubungan yang saling melengkapi dan harmonis antara Islam dan negara. Selain itu – menurut Bambang Sutisna, mantan Ketua Pansus RUU tentang Peradilan Agama, – pendapat dan tanggapan yang berkembang dalam masyarakat yang cukup hangat dan kadang-kadang kontroversial, semula memang menimbulkan kekhawatiran tetapi kemudian menjadi motivasinya untuk lebih berhati-hati dan menempatkan diri selaku pemandu yang obyektif dan proporsional.
Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama (RUU-PA) yang disampaikan oleh Pemerintah kepada DPR dengan Amanat Presiden Nomor: R. 06/PU/XII/1988 tanggal 3 Desember 1988, telah menarik perhatian masyarakat luas dan menimbulkan berbagai tanggapan yang kadang-kadang kontroversial. Dalam DPR-RI proses pembahasan berlangsung dengan senantiasa menjunjung tinggi asas musyawarah untuk mufakat dan menempatkan kepentingan seluruh rakyat di atas kepentingan pribadi atau golongan, walaupun sering terjadi adu argumentasi yang keras untuk mempertahankan pendiriannya masing-masing.
Perubahan orientasi dan strategi politikIslam ini menjadi titik poin melunaknya politik negara terhadap Islam, yang tidak lagi dipandangnya sebagai ancaman, dan partai-partai politik Islam terpaksa berbenah mengikuti alur yang dikembangkan oleh para intelektual muslim. Dalam perkembangan-perkembangan selanjutnya, setelah merasa pendukung utamanya sudah mulai tidakmenikmati kepemimpinannya, Soeharto mulai melirik Islam sebagai alternatif sehingga terjadi pertemuan dua kepentingan yang selama periode-periode sebelumnya selalu berlawanan. Pertemuan dua kepentingan itu akhirnya menghasilkan sikap politik penguasa yang responsif dan akomodatif terhadap kepentingan politik Islam, dan salah satunya ditunjukkan dengan pengajuan RUU Peradilan Agama pada tanggal 3 Desember 1988 ke DPR, yang selama 17 tahun dirintis oleh Departemen Agama.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 adalah undang-undang yang secara politis sangat strategis. Undang-undang tersebut selain memantapkan keberadaan Peradilan Agama, juga memfasilitasi pelembagaan hukum Islam lebih lanjut sebagaimana dituntut oleh Pasal 49. Munawir mengatakan bahwa pengajuan RUU Peradilan Agama bertujuan memberikan wadah bagi pemberlakuan hukum-hukum Islam lainnya di kemudian hari. Dan ketika mengatakan demikian, sebenarnya Munawir telah mengantongi draft hukum materil Islam, yang disarikan dari 13 kitab fikih bermazhab Syafi’i.
Selanjutnya pada tahun 1985 dibentuk sebuah tim yang didasarkan pada Surat Keputusan Bersama antara Menteri Agama dan Ketua Mahkamah Agung, No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985, tanggal 25 Maret 1985, dan Ketua Muda MARI Urusan Lingkungan Peradilan Agama saat itu, Busthanul Arifin, salah seorang penggagas KHI, secara cerdik memanfaatkan fenomena yang terjadi di NU, yang tipe kepemimpinannya kharismatik serta keputusannya mudah diterima oleh anggota. Dan termasuk bagian dari strateginya adalah meminta kepada Gus Dur selaku Ketua Panitia Muktamar di Situbondo, untuk mengundang Ketua Mahkamah Agung, dan yang diundang datang. Strategi lainnya adalah lobi kepada hakim-hakim peradilan agama yang berasal dari NU untuk ikut menghadiri Muktamar sebagai orang NU, dengan pendekatan kepada pengurus-pengurus NU daerah, yang disetujui panitia. Keikutsertaan tersebut untuk merekomendasikan kepada pemerintah agar menyusun KHI, dan Muktamar pun merekomendasikannya. Pada kesempatan terpisah, Muhammadiyah dan yang lainnya melakukan hal yang sama.
Menurut Ismail Sunny, Proyek KHI yang merupakan kerjasama antara Menteri Agama dan Ketua Mahkamah Agung RI didorong oleh Presiden Soeharto, bahkan beliaulah yang mendanainya sebesar Rp 230.000.000,-.
Kehadiran Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) – melalui Instruksi Presiden kepada Menteri Agama, dengan Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 yang ditindaklanjuti dengan pelaksanaannya melalui Keputusan Menteri Agama RI kepada seluruh instansi Departemen Agama dan instansi Pemerintah lainnya dengan Nomor 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 untuk menyebarluaskannya dan sedapat mungkin menerapkannya di samping perundang-undangan lainnya – merupakan hukum yang ditulis dari 13 kitab hukum yang selama ini menjadi referensi utama Peradilan Agama, sebagaimana Edaran Biro Peradilan Agama Nomor B/1/735 tanggal 18 Pebruari 1958 sebagai Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957.
KHI merupakan fikih Indonesia yang disusun dalam upaya unifikasi berbagai mazhab fikih untuk penyatuan persepsi para Hakim menuju kepastian hukum. Ide penyusunan KHI muncul setelah beberapa tahun Mahkamah Agung melakukan pembinaan teknis yustisial kepada Peradilan Agama berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. Dan berdasarkan Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama (masing-masing) Nomor 07/KMA/1985, dan Nomor 25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985 tentang Tim Pelaksana Proyek Penyusunan KHI, yang hasilnya dibahas dalam Loka Karya Para Ulama dan Cendikiawan Muslim pada tanggal 2 s.d. 6 Pebruari 1988 di Jakarta.
Masa Orde Reformasi mengubah sistem organisasi Peradilan Agama dan Peradilan Umum dari tidak satu atap menjadi seatap, melalui Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 ayat (1) undang-undang tersebut. Pada tahun yang sama, disahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 172, yang diikuti pada tahun berikutnya dengan (1) PERDA Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 3 Tahun 2000, tanggal 14 Juni 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tatakerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Propinsi Daerah Istimewa Aceh, dan (2) PERDA Nomor 5 Tahun 2000, tanggal 25 Juli 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam.
Bab 1 Ketentuan Umum (Pasal 1 angka 7)PERDA Nomor 3 Tahun 2000 menyebutkan “Syariat Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan.” Sedangkan Pasal 5 ayat (2) huruf-huruf j, k, l, dan m, menyebutkan bahwa qadha, jinayat, munakahat, dan mawaris, merupakan bagian dari pelaksanaan syariat Islam yang harus dijunjung tinggi. Dan Pasal 18 ayat (1) PERDA Nomor 5 di atas menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah bersama MPU perlu merumuskan ketentuan-ketentuan berkenaan dengan pokok-pokok dan acara penyelenggaraan qadha, jinayat, munakahat, dan mawaris sejalan dengan syariat Islam, jo Pasal 125 s.d. Pasal 128 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006, dengan hukum acara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 132 undang-undang ini.
Saat ini untuk Hukum Acara Jinayat Aceh sedang dilakukan pembahasan intensif antara Mahkamah Agung Republik Indonesia, di Jakarta dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, dalam sebuah rancangan yang diberi judul “Rancangan Qanun Aceh tentang Hukum Acara Jinayat.” Tidak adanya Hukum Acara Jinayat untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan salah satu kendala dan penghambat dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan Mahkamah Syar̒iyah, dan oleh karenanya hukum acara tersebut harus diprioritaskan oleh Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam.
Pada masa ini Orde Reformasi ini pula, dan sejalan dengan perubahan namanya menjadi Provinsi Naggroe Aceh Darussalam terjadi perubahan sebutan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di Provinsi Banda Aceh,masing-masing menjadi Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi (Pasal 1 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2001 tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), dengan penambahan kewenangan sebagaimana pada Pasal 3 undang-undang dimaksud yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syi’ar Islam yang ditetapkan dalam Qanun.
Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 menyebutkan bahwa Peradilan Syari’ah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak mana pun.. Sedangkan ayat (2) pasal dan undang-undang tersebut berbunyi “Kewenangan Mahkamah Syar’iyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas syari’at Islam dalam sistem hukum nasional, yang duatur lebih lanjut dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang diberlakukan bagi pemeluk agama Islam (ayat 3).
Sehubungan dengan uraian di atas, ada beberapa Qanun untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu : (1) Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Islam, (2) Qanun Nomor 11 Tahun2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam, (3) Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Khamer (dengan uqubat(hukuman) 40 kali cambuk sebagaimana disebutkan dalam Pasal 26, (4) Qanun Nomor 13 Tahun 2002 tentang Maisir, dengan uqubat minimal 3 kali cambuk, dan maksimal 9 kali cambuk sebgaimana disebutkan dalam Pasal 23, dan (5) Qanun Nomor 14 Tahun 2002 tentang Khalwat, dengan uqubatminimal 3 kali cambuk, dan maksimal 9 kali cambuk sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22.
Selain ketiga hukum pidana khusus tersebut, sementara ini ada upaya untuk memperluas kewenangan dalam bidang hukum pidana khusus, yang saat ini masih dalam taraf pembahasan. Perluasan dimaksud mencakup: ikhtilath, zina, dan pemerkosaan, yang masing-masing memiliki ruang lingkup tersendiri. Perluasan tentang hukum pidana khusus tersebut sesuai dengan Hasil PenelitianWork-Plan Aceh Justice Resource Centre (AJRC) tentang Eksistensi Mahkamah Syar̒iyyah dalam Menjalankan Peradilan Syariat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menyebutkan antara lain mngenai sejumlah qanun pelaksanaan syariat Islam (yang) masih memerlukan perubahan karena masih menimbulkan perdebatan, seperti ketentuan tentang khalwat, yang dibatasi pada bersepi-sepi di tempat tertutup atau lebih luas lagi, dan bagaimana jika pelakunya lebih dari dua orang, serta yang sejenis. Seharusnya ketentuan hukum materil yang dibuat dapat menampung persoalan-persoalan yang sekarang ini aktual terjadi di dalam masyarakat, dan menutup peluang terjadinya bermacam penafsiran.
Selanjutnya dilakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama sehingga kewenangannya sebagaimana dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 (LNRI Tahun 2009 Nomor 159, Tambahan LNRI Nomor 5078),berbunyi sebagai berikut:
“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
a. perkimpoian;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah, dan
i. ekonomi syari’ah.
Penjelasan pasal tersebut huruf I, menyebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha untuk dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi:
a. bank syari’ah;
b. lembaga keuangan mikro syari’ah;
c. asuransi syari’ah;
d. reasuransi syari’a;h
e. reksa dana syari’ah;
f. obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
g. sekuritas syari’ah
h. pembiayaan syari’ah;
i. pegadaian syari’ah;
j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
k. bisnis syari’ah.
Setelah Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disahkan Kompetensi yang diberikan kepada Peradilan Agama untuk mengadili perkara ekonomi syari’ah masih tetap diperdebatkan, dari sisi kapabilitaskeekonomiannya, dan tidak melihat sisi kapabilitas dan kapasitas syari’ahnya, apalagi sisi penggabungan antara keduanya, ekonomi syariahnya. Perdebatan tersebut tetap berjalan dan hal itu semakin terlihat dalam pembahasan-pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perbankan Syariah, yang akhirnya disahkan pada tanggal 17 Juni 2008 dan disahkan pada tanggal 16 Juli 2008, dan diberi nama Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari'ah.
Akhirnya Dewan bersepakat bahwa Undang-undang tersebut harus memberikan kewenangankepada Peradilan Agama untuk mengadili tuntutan rakyat pencari keadilan sebagaimana tersebut pada Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, dan opsi kepada para pihak sebagaimana dimaksud oleh ayat (2) pasal dan undang-undang yang sama, dengan memperhatikan dan mengingat ketentuan ayat (3) pasal dan undang-undang ini.
Secara keseluruhan bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut :
(1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syari’ah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
(2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.
(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.
Penjelasan terhadap ayat (2) pasal tersebut berbunyi bahwa yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad” adalah upaya sebagai berikut :
a. musyawarah;
b. mediasi perbankan;
c. melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan /atau
d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Sedangkan yang dimaksud dengan prinsip syari’ahadalah sebagaimana disebutkan pada “Ketentuan Umum” Pasal 1 butir 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, yaitu prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syari’ah. Dan kehadiran Undang-Undangt Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama serta Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah diperkuat dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (disingkat KHES), yang dikeluarkan pada tanggal 10 September 2008. Perma tersebut – selain menjadi pedoman bagi Hakim Pengadilan (Agama) (Pasal 1 ayat (1), tidak mengurangi tanggung jawab hakim untuk menggali dan menemukan hukum untuk menjamin putusan yang adil dan benar. (Pasal 1 ayat (2)).
Pasal 1 ayat (2) di atas berpedoman pada Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, serta penjelasannya yang berbunyi “Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Dan menurut penyusun, penemuan hukum dimaksud adalah hukum materil, sedangkan hukum acaranya tetap mengacu kepada Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kecuali yang diatur secara khusus.
Dua hal sebelum terakhir di atas merupakan sesuatu yang penting bagi para Hakim sebagai komponen struktural sebagaimana dikatakan oleh Lawrence M. Friedman sehingga kualitas sumber daya para Hakim perlu ditingkatkan agar terjadi keseimbangan antara ilmu dan pengalamannya. Sedangkan hal terakhirnya – sebagaimana bunyi Pasal 1 ayat (2) – didasarkan pada salah satu bagian dari ayat 58 surat al-Nisa, dan salah satu dari 3 kelompok / golongan Hakim sebagaimana tersurat dalam hadis Nabi SAW.
source : http://nurmanali.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar